Spiga

RAPAT, RAPAT, RAPAT LAGI…!

Ketika Mat Jundi sedang duduk santai di teras, melintaslah seorang teman di depannya. Segera Mat Jundi menyapa, “Assalamu’alaikum, ya akhi”.
Spontan sang teman menjawab, “Wa’alaikumussalam warahmatullah”.
“Dari mana dan mau kemana, nih. Kayaknya tergesa-gesa?,” tanya Mat Jundi.
“Barusan ikut rapat, dan ini mau menghadiri rapat lagi,” jawabnya sedikit menggerutu.
Mendengar jawaban itu, lantas Mat Jundi teringat sebuah iklan di televisi, “Rapat, rapat, rapat terus setiap hari!”.
Tiba-tiba Mat Jundi terdiam, merenung dan berpikir, “Mengapa orang mesti rapat, ya? Apa memang banyak masalah yang harus dipecahkan dengan rapat atau hanya ketagihan rapat?” tanyanya dalam hati.
Tak lama setelah itu, Mat Jundi membuka lembaran-lembaran suci. Tanpa sengaja, terbacalah sebuah seruan Ilahi, “Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabbnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka,” (QS. 42:38)
Agak terjawablah sudah uneg-uneg Mat Jundi bahwa musyawarah adalah arena untuk mengambil keputusan bersama yang diperintahkan oleh Sang Pencipta. Mengingat setiap orang sangat mungkin mempunyai pandangan masing-masing tentang sesuatu hal yang sama, maka sebuah kelompok, organisasi atau golongan perlu bermusyawarah. Hasil musyawarah itulah kemudian disepakati sebagai keputusan kelompok, meskipun mungkin ada pribadi yang tidak setuju dengan keputusan itu.
Dan betapa tersentaknya Mat Jundi ketika membaca sejarah Nabi Muhammad SAW, ternyata musyawarah telah ditanamkan Rasulullah itu kepada para sahabat dan pengikutnya dalam mengambil keputusan yang manusiawi.
Alkisah, waktu itu menjelang perang Uhud, bersama para sahabatnya Rasulullah berembuk mengenai strategi menghadapi kemungkinan serangan kaum kafir. Ada dua pendapat yang berkembang. Pertama, bertahan di dalam kota Madinah dengan alasan jika kaum musyrikin itu menyerang, maka tinggal menghadang dan membunuhnya di jalan-jalan. Sementara kaum wanita dapat membantu melempar batu dari atap rumah. Kedua, keluar dari Madinah dan menghadang kaum musyrikin di perbatasan kota.
Nabi sendiri secara pribadi setuju dengan pendapat pertama. Namun sebagian besar sahabat, yang mayoritas pemuda yang tidak ikut perang Badar, menginginkan cara kedua. Nyata banyak pendapat terakhir inilah yang paling banyak diantara jamaah yang disepakati. Sedang sebagian sahabat yang tua yang ikut perang Badar masih ragu-ragu.
Seusai musyawarah Rasulullah langsung bangkit dan masuk ke rumahnya, lalu keluar lagi dengan pakaian perang. Melihat sikap Rasulullah, sebagian sahabat mulai berubah pikiran. Mereka bertanya, “Apakah Rasulullah tidak menyukai penghadangan musuh di luar kota?” Sebagian sahabat yang lain berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya engkau menghendaki tinggal di Madinah, maka lakukanlah.”
Nabi SAW kemudian menjawab, “Tak patut bagi seorang Nabi bila telah mengenakan pakaian perangnya untuk melepaskannya kembali sampai Allah menetapkan keputusan antara dia dan musuhnya.”
Setelah membaca kisah di atas, berkomentarlah Mat Jundi dalam kesendiriannya, “Masya Allah! Dengan ucapan itu Rasulullah menanamkan sendi musyawarah dan bagaimana cara menghargai hasil musyawarah. Bila telah sampai pada suatu keputusan, maka teguhkanlah pendirian dan laksanakan keputusan itu. Tidak ada lagi tempat untuk keragu-raguan, atau mengulangi musyawarah tersebut dan berbantah-bantahan. Biarkanlah Allah berbuat sekehendakNya setelah keputusan itu disepakati.
Rasulullah sebetulnya telah mengetahui bahwa strategi mencegat musuh di batas kota akan membawa kekalahan bagi umat Islam. Ini tersirat dari mimpinya beberapa saat sebelum perang Uhud. Namun, karena ingin mengajarkan sendi-sendi musyawarah dan mendidik umatnya, Nabi rela membayarnya dengan kekalahan yang semestinya tidak perlu terjadi. Ini menunjukkan betapa pentingnya arti musyawarah.
Tak terasa dalam ketertegunannya, Mat Jundi mengambil hikmah dari sebuah kisah Rasulullah.Meneteslah butiran-butiran airmata membasahi lembaran-lembaran putih di hadapannya, sambil berbisik, “Ya Allah, betapa agung budi Rasulullah. Sampaikah hambamu yang lemah ini mendekat kepada pribadi Rasulullah?”
“Ya Allah Yang Maha Pengampun. Sesungguhnya hambamu ini banyak berbuat aniaya, sering tidak menghormati dan mentaati hasil musyawarah. Bibir berucap ya… tapi tidak pernah melaksanakannya. Oleh karena itu, ampunilah kelalaian hamba dan ketidak konsistenan hamba terhadap hasil musyawarah.” Amiin.

TINJAUAN SEJARAH ISLAM BAGI GENERASI MUDA

MUQADIMAH
Tahu nggak, siapa pelopor pergerakan nasional Indonesia? Itu kan pelajaran esde. Masa sekarang disuruh ngingatin lagi. Sekarang ini yang penting cepat lulus, dapat nilai bagus dan dapat kerjaan di perusahaan bonafit. Mana ada hubungannya mata kuliah kita sekarang dengan sejarah. Nnnngggg… ya, yang jelas seingat saya Boedi Oetomo.
Itulah sekilas gambaran pemuda sekarang terhadap sejarah. (Dikatakan pemuda, karena tidak hanya pelajar atau mahasiswa saja yang umumnya berkata demikian).

REALITA SEJARAH
Dalam buku sejarah, Syarikat Dagang Islam (SDI) berdiri tanggal 16 Oktober 1905 di Laweyan Solo atas prakarsa H. Samanhudi. Akhirnya berkembang menjadi Sarekat Islam (SI) yang dipelopori oleh HOS Tjokroaminoto menjadi bersifat politik. Prof. Drs. Ahmad Mansyur Suryanegara, dosen Fakultas Sastra Unpad, menyebut HOS Tjokroaminoto sebagai peletak dasar perubahan sosial politik di Indonesia.
Sedang Drs. Adabi Darban, SU, dosen Fakultas Hukum UII menyebut SI sebagai pelopor pergerakan nasional. SI merupakan organisasi berskala nasional pertama yang menuntut “Boemipoetra Zelfbestuur” (pemerintahan sendiri) pada kolonial Belanda. Inilah yang kemudian mendorong organisasi-organisasi dalam pergerakan nasional untuk berjuang menuju kemerdekaan Indonesia.
Setelah itu baru muncul Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, bersifat kedaerahan bergerak di bidang kebudayaan dan kultur Jawa. Wilayahnya di Jawa dan Madura saja. Angotanya kaum elit, priyayi, dan ‘abmtenaar’ serta bupati.
Menurut yang empunya sejarah, selama ini pelopor pergerakan nasional pertama adalah Boedi Oetomo. Melihat realitas, Boedi Oetomo lahir kemudian setelah SDI. Dengan tidak memperkecil arti Boedi Oetomo dalam pergerakan nasional, mengapa pelopor pergerakan nasional kok tidak SDI? Inilah kenyataan sejarah sekarang.

DISTORSI SEJARAH
Mana yang benar? Di sinilah peran sejarah bermain. Contoh di atas hanya satu dari serangkaian peristiwa sejarah yang kabur ketika kekuatan-kekuatan tertentu mencoba merekayasa sejarah. Mencoba memberi arah baru terhadap kebenaran sejarah di masa lampau.
Lalu bagaimana dengan catatan sejarah yang lain? Seperti Sisingamangaraja XII dan Pattimura yang beragama Kristen atau RA Kartini yang sekuler, serta pelaku-pelaku sejarah Muslim lainnya dalam kancah perjuangan negara Indonesia. Bila kita kaji ulang dan kita teliti kembali, ternyata banyak penyimpangan yang terjadi. Baik dari masa masuknya Islam ke Indonesia, komunitas masyarakat Islam pada jaman kerajaan, masa kerajaan-kerajaan Islam di kawasan nusantara melawan kehadiran kolonial, perlawanan rakyat semesta yang dipimpin oleh para ulama, peran ummat Islam dalam pergerakan nasional, mencapai kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, hingga masa sekarang ini.

PENYEBAB DISTORSI
Ada dua penyebab distorsi yang menyimpangkan pemahaman sejarah Islam, yaitu penyebab intern dan penyebab ekstern. Penyebab intern, berkaitan dengan visi dan kemampuan penulis sejarah memahami kondisi sosial yang melingkupi peristiwa sejarah itu. Ini tergambar dalam penulisan DR. Akbar S. Ahmad yang berjudul Kearah Antropologi Islam.
Selain itu penyebab ekstern. Drs. Uka Tjandra Sasmita, dosen UI dan IAIN Jakarta, menyebut ada beberapa poin yang mendukung faktor ini, antara lain: tekanan pihak penguasa sebagai sponsor penulisan sejarah, tekanan masyarakat dalam mengubah arah sejarah, peran para orientalis merekayasa sejarah, dan peran para ‘orientalis pribumi’ yang turut menyimpangkan arah sejarah.
Selanjutnya, akhir dari sebab-sebab itu akan timbul apa yang disebut ‘amnesia sejarah’ yaitu penyakit budaya yang membuat orang kehilangan kesadaran akan sejarah.

AKIBAT DISTORSI
Ketika sejarah mendapat ‘tafsir baru’ sesuai pesanan. Ia tak lagi menjadi barang berharga, tetapi menjadi racun yang bisa menghancurkan ummat. Akibatnya tidak hanya penyelewengan fakta dan data saja, tatapi ‘frame’ berfikir yang salah pun akhirnya terbentuk.
Ungkapan muqadimah di awal catatan ini, terlihat kondisi sekarang. Sudah sampai tingkatan mana akibat yang timbul dari distorsi sejarah, yaitu sudah tidak mau tahu terhadap sejarah. Bagitu pula terhadap sejarah Islam. Menyitir ungkapan Zwemmer, seorang penggagas ‘Protocol of Zion’, Yahudi tidak perlu mengajak ummat Islam memeluk agama Nashrani atau Yahudi, tetapi cukup menjauhkan mereka dari agamanya sehingga mereka mengikuti cara hidup Yahudi.
Kongkretnya, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Sebagai generasi penerus, perlu mempelajari sejarah dan arti pentingnya bagi perjalanan ummat. Realitas penulisan sejarah yang menghilangkan peran aktif ummat Islam, ironisnya tidak terperhatikan oleh ummat Islam sendiri. Hal ini terjadi karena ummat Islam dalam memahami sejarah kurang ‘feeling’-nya terhadap sejarah. Kalaupun ada perhatian terhadap tarikh/sejarah, yang dikaji hanyalah abu sejarahnya, bukan sejarahnya itu sendiri, demikian ungkap Ir. Soekarno.
Padahal kalau ditelisik lebih jauh, kata ‘sejarah’ berasal dari syajaratun atau tarikh dan shirah dalam terminologi Islam. Namun kenapa ummat Islam tidak merasa memilikinya?
Dr. Sa’id Ramadhani al-Buthy menyatakan tujuan mempelajari sejarah (shirah) adalah agar setiap Muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna, yang tercermin di dalam kehidupan Rasulullah SAW, sesudah dipahami secara prinsip, kaidah dan hukum. Bukan hanya sekedar untuk mengetahui peristiwa-peristiwa sejarah yang mengungkapkan kisah dan kasus menarik saja. Lebih-lebih pada saat ini, sosok Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah mulai bergeser dari pandangan ummat Islam. Demikian juga dalam Al-Qur’an banyak diungkap akan arti penting sejarah.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. 12:111)

YANG PERLU DIINGAT
1. Tidak diragukan lagi kiprah ummat Islam dalam perjuangan dan kehidupan bangsa Indonesia, baik semenjak datangnya Islam hingga masa sekarang ini.
2. Dengan ruhul Islam, telah berhasil menjiwai dan mendorong ummat Islam dalam memperjuangkan dan mengisi kehidupan berbangsa di Indonesia ini.

YANG PERLU DIKERJAKAN
1. Kembali mempelajari sejarah dan pelaku-pelaku sejarah Islam atau penulis-penulis Muslim, agar dapat memahami realitas sejarah Islam sesuai dengan sejarah Islam yang sebenarnya.
2. Usaha kaum muslimin untuk menggali dan menulis sejarah agar tidak terjadi distorsi sejarah.
3. Mewariskan sejarah Islam kepada generasi penerus secara benar agar setiap muslim memperoleh gambaran hakikat Islam yang paripurna, yang tercermin dalam kehidupan Rasulullah SAW.

Nah, bagaimana dengan sejarah Islam di Kalimantan Timur khususnya? Ini menjadi tugas kita selaku ummat Islam di daerah ini, untuk menggali dan menjadi pelaku sejarahnya. Dan tidak lupa apakah kita terjebak dengan hanya tidak adanya pelajaran sejarah dibangku kuliah? Tidak kan?

Pendidikan Islam

Pendidikan dalam perspektif Islam bermakna (Ulwan):

Proses pengembangan, pembinaan, dan pengarahan segala potensi individu agar mampu mengemban amanah risalah Allah di muka bumi. Artinya, pendidikan berperan memanusiakan manusia, sesuai dengan fitrah yang telah digariskan Allah SWT.

Konotasi yang terkandung di dalamnya adalah memelihara. Artinya berperan menjaga anak didik dari segala bentuk gangguan dan penyimpangan dari fitrah itu sendiri.

Hakikat pendidikan Islam adalah:

1. Pendidikan didasarkan pada konsep penciptaan manusia yang memiliki fitrah hanifah.
2. Pendidikan bertujuan membantu pertumbuhan yang seimbang dari keseluruhan kepribadian.
3. Tujuan akhir pendidikan adalah merealisasikan kepasrahan yang total dan utuh kepada Allah SWT, baik pada tingkat individual, komunal maupun ummat.

Sasaran pendidikan dalam Islam adalah:

1. Menyadarkan manusia akan kedudukannya terhadap Allah SWT yang akan:
1. menumbuhkan motivasi dan membina diri (aktualisasi diri)
2. Menumbuhkan amanah dan bertanggung jawab (responsibility)
3. Memberi arah (orientasi)
2. Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan tugasnya di tengah makhluk lain ( sebagai khalifah), yang akan menumbuhkan sifat:
1. apresiatif
2. partisipatif
3. kontributif

Pendidikan seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui latihan dan pengkondisian kegiatan kognitif, afektif dan psikomotorik. Karena itu pendidikan seharusnya memberikan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya. Karena itu pendidikan Islam bertujuan:

1. Membentuk manusia beraqidah (tarbiyah ‘aqidiyah)
2. Membentuk manusia beraklak mulia (tarbiyah khuluqiyah)
3. Membentuk manusia berfikir (tarbiyah fikriyah)
4. Membentuk manusia sehat dan kuat (tarbiyah jismiyah)
5. Membentuk manusia kreatif, inisiatif, antisipatif, dan responsive (tarbiyah amaliyah)

Karakteristik Pendidikan Islam

1. Robbaniyah, seluruh aspeknya didasarkan pada nilai robbaniyah dijabarkan dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya.
2. Syamilah, pendidikan dibangun dengan memperhatikan segala aspek dalam kehidupan baik akal, jasad dan ruh, maupun dalam kerangka hubungan individu dengan masyarakat, alam dan al Khaliq. Tanpa pemisahan.
3. Mutakamilah, Pendidikan tidak terbatas pada tempat tertentu. Berlangsung di sekolah, masjid, rumah, di jalan, di kebun, medan pertempuran bahkan di pasar.
4. Marhaliyah, Seluruh tabiat alam terjadi secara bertahap, demikian pula perkembangan fisik dan psikis manusia. Karena itu pendidikan dibangun dengan sifat bertahap dan mengikuti perkembangan kematangan manusia.
5. Muruunah, dalam aplikasi pendidikan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang melatar belakangi dan melingkupi obyek dan subyek pendidikan, justru dalam rangka optimalisasi hasil.
6. Istimroriyah, Proses pendidikan tidak mengenal istilah “Usai”. Setiap individu wajib belajar sepanjang hayat (long-life education)
7. Tanmawiyah, memberikan peluang pembaharuan metode dan gaya penyampaian sejalan dengan penemuan dan perkembangan ilmu, selama berjalan pada prinsip-prinsip dasar Islam.
8. Fardhiyah, Islam mewajibkan setiap individu untuk menuntut ilmu. Implikasinya, berarti melibatkan semua pihak untuk mempersiapkan segala perangkat, sarana dan perlengkapan pendidikan sebaik-baiknya.
9. Tathbiqiyah, pendidikan bersifat praktis, artinya setiap ilmu yang diperoleh harus berorientasi pada produktivitas.
10. Hurriyah, pendidikan didasarkan pada kebebasan. Islam tidak memaksakan harus belajar apa dan bagaimana, setiap individu bebas mereguk ilmu apa saja dan sebatas mana saja.
11. Infitah, pendidikan berdasar prinsip keterbukaan. Setiap muslim menyerap ilmu dari mana saja, serta pula mampu memanfaatkan turots (warisan peradaban manusia terdahulu yang bermanfaat)
12. Maslahah, pendidikan dibangun untuk memberikan kemaslahatan ummah, nantinya memberikan kontribusi dalam pendidikan kesejahteraan, kemakmuran dan peradaban ummah. Oleh karena itu pendidikan Islam berorientasi pada nilai manfaat dan mashlahat bagi ummat.

Beberapa metode pendidikan dalam Islam menurut Abdullah Nashih Ulwan:

1. Pendidikan dengan keteladanan
2. Pendidikan dengan adat kebiasaan
3. Pendidikan dengan nasihat/kisah
4. Pendidikan dengan memberi perhatian
5. Pendidikan dengan memberi imbalan dan sanksi.

Konsep keterpaduan sebagai alternatif.

Konsep keterpaduan mengandung pengertian sebuah proses pendidikan yang terpadu dan diharapkan menghasilkan output terpadu. Konsep keterpaduan memiliki tiga pengertian:

1. Keterpaduan penerapan kurikulum sekarang yang cenderung sekuler dengan penerapan nilai-nilai Islam secara menyeluruh terhadap semua bidang studi. Contoh pembelajaran bahasa Inggris memiliki persepsi yang berbeda dengan siswa sekolah lain, yaitu:
1. Pelajaran bahasa Inggris bagian dari ajaran Islam yang sumbernya dari Allah SWT dan setiap ilmu harus dipelajari.
2. Pelajaran bahasa Inggris tiodak dipisahkan dengan kewajiban sebagai seorang muslim, sehingga bahasa Inggris juga merupakan sarana untuk beribadah kepada Allah SWT dengan menggunakannya untuk menjunjung tinggi ajaran Islam seperti mempelajari literutur, teknologi informasi, dsb sehingga umat tidak ketinggalan di bidang sains dan teknologi.
2. Keterpaduan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dalam nilai-nilai Islam yang simultan dan aplikable. Artinya siswa belajar sholat pada pelajaran PAI, maka ia langsung mempraktekkan dalam kegiatan ibadah sholat jamaah di masjid. Siswa belajar bilangan 1 – 5, tidak hanya mengenal angka semata, melainkan juga mengenal rukun Islam yang lima, sholat lima waktu, jari kita ada lima, dsb.
3. Keterpaduan antara orang tua dan sekolah. Proses pendidikan akan gagal jika tidak sinergis antara nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah dengan nilai orang tua di rumah, dan peran sekolah untuk mengembangkan dan memperjuangkan nilai-nilai yang samaakan menghambat output pendidikan. Jadi peran sekolah dan orang tua serta masyarakat harus sinergis dan harmonis dalam membina anak didik.

Kisah Abu Dzar r.a, Pejuang Sebatang Kara

Abu Dzar terlahir dengan nama Jundub bin Junadah. Dulu, ia adalah seorang perampok yang mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang melaui jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu dilakukannya untuk mendapatkan harta dengan cara mudah. Hidupnya penuh dengan kejahatan dan kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu, jalur perdagangan Mekkah-Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya.

Namun begitu, hati kecil Abu Dzar sesungguhnya tak menerimanya. Pergolakan batin membuatnya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu menimbulkan amarah sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu dan saudara laki-lakinya, Anis, dan menetap di kediaman pamannya.

Di tempat ini pun ia tidak lama. Ide-idenya yang revolusioner berkait dengan sikap hidup tak mengabaikan sesama dan mendistribusikan sebagian harta yang dimiliki, menimbulkan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun diadukan kepada pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung dekat Mekkah. Di tempat inilah ia mendapat kabar dari Anis, tentang kehadiran Rasulullah SAW dengan ajaran Islam.

Abu Dzar segera menemui Rasulullah SAW. Melihat ajarannya yang sejalan dengan sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, ia memproklamirkan keislamannya di depan Ka'bah, saat semua orang masih merahasiakan karena khawatir akan akibatnya. Tentu saja pernyataan ini menimbulkan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli dan hampir saja terbunuh bila Abbas, paman Rasulullah SAW, tidak melerai dan mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.

Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir seluruh bani Ghiffar dan suku tetangganya, suku Aslam mengikutinya memeluk Islam.

Sikap hidupnya yang menentang keras segala bentuk penumpukkan harta, ia sampaikan juga kepada mereka. Namun, tak semua menyukai tindakannya itu. Di masa Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dari kaum Quraisy, termasuk salah satu tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan.

Suatu kali pernah Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengatur perdebatan antara Abu Dzar dengan para ahli tentang sikap hidupnya. Tujuannya agar Abu Dzar membolehkan umat menumpuk kekayaannya. Namun, usaha itu tak menggoyahkan keteguhan pandangannya. Karena jengkel, Muawiyah melaporkan kepada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah segera memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat sambutan hangat di Madinah. Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak Madinah.

Disamping sifatnya yang radikal dan revolusioner, Abu Dzar ternyata seorang yang zuhud (meninggalkan kesenangan dunia dan mengecilkan nilai dunia dibanding akhirat), berta’wa dan wara’ (sangat hati-hati dan teliti). Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada di dunia ini orang yang lebih jujur ucapannya daripada Abu Dzar”, dikali lain beliau SAW bersabda, “Abu Dzar – diantara umatku – memiliki sifat zuhud seperti Isa ibn Maryam”.

Pernah suatu hari Abu Dzar berkata di hadapan banyak orang, “Ada tujuh wasiat Rasulullah SAW yang selalu kupegang teguh. Aku disuruhnya agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri dengan mereka. Dalam hal harta, aku disuruhnya memandang ke bawah dan tidak ke atas (pemilik harta dan kekuasaan)). Aku disuruhnya agar tidak meminta pertolongan dari orang lain. Aku disuruhnya mengatakan hal yang benar seberapa besarpun resikonya. Aku disuruhnya agar tidak pernah takut membela agama Allah. Dan aku disuruhnya agar memperbanyak menyebut ‘La Haula Walaa Quwwata Illa Billah’. “

Dipinggangnya selalu tersandang pedang yang sangat tajam yang digunakannya untuk menebas musuh-musuh Islam. Ketika Rasulullah bersabda padanya, “Maukah kamu kutunjukkan yang lebih baik dari pedangmu? (Yaitu) Bersabarlah hingga kamu bertemu denganku (di akhirat)”, maka sejak itu ia mengganti pedangnya dengan lidahnya yang ternyata lebih tajam dari pedangnya.

Dengan lidahnya ia berteriak di jalanan, lembah, padang pasir dan sudut kota menyampaikan protesnya kepada para penguasa yang rajin menumpuk harta di masa kekhalifahan Ustman bin Affan. Setiap kali turun ke jalan, keliling kota, ratusan orang mengikuti di belakangnya, dan ikut meneriakkan kata-katanya yang menjadi panji yang sangat terkenal dan sering diulang-ulang, “Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan api neraka, kening dan pinggang mereka akan diseterika dihari kiamat!”

Teriakan-teriakannya telah menggetarkan seluruh penguasa di jazirah Arab. Ketika para penguasa saat itu melarangnya, dengan lantang ia berkata, “Demi Allah yang nyawaku berada dalam genggaman-Nya! Sekiranya tuan-tuan sekalian menaruh pedang diatas pundakku, sedang mulutku masih sempat menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar darinya, pastilah akan kusampaikan sebelum tuan-tuan menebas batang leherku”

Sepak terjangnya menyebabkan penguasa tertinggi saat itu Ustman bin Affan turun tangan untuk menengahi. Ustman bin Affan menawarkan tempat tinggal dan berbagai kenikmatan, tapi Abu Dzar yang zuhud berkata, “aku tidak butuh dunia kalian!”.

Akhir hidupnya sangat mengiris hati. Istrinya bertutur, “Ketika Abu Dzar akan meninggal, aku menangis. Abu Dzar kemudian bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai istriku? Aku jawab, “Bagaimana aku tidak menangis, engkau sekarat di hamparan padang pasir sedang aku tidak mempunyai kain yang cukup untuk mengkafanimu dan tidak ada orang yang akan membantuku menguburkanmu”.

Namun akhirnya dengan pertolongan Allah serombongan musafir yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud ra (salah seorang sahabat Rasulullah SAW juga) melewatinya. Abdullah bin Mas’ud pun membantunya dan berkata, “Benarlah ucapan Rasulullah!. Kamu berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan nantinya (di akhirat) dibangkitkan sebatang kara”.

Kita Menjual Produk, Bukan Menjual Negeri. Apalagi Menjual Diri

Petani menginginkan informasi yang tepat. Bagaimana cara mendapatkan bibit yang baik, musim tanam yang tepat, cara memelihara, memetik hasil dan mengolah hasil. Yang tidak kalah penting adalah mendapatan informasi pemasaran yang menjanjikan. Ini bagian yang paling banyak dicari dan paling memberi harapan bagi proses sebelumnya dari produk pertanian.

Pemasaran, itu kata kuncinya. Bagaimanapun juga baiknya proses yang dilalui petani sebelumnya, tapi kalau tidak bisa dipasarkan, maka tidak akan memberi hasil. Sudah berpayah-payah mengolah lahan, mananam, memelihara, memetik hasil, ternyata tidak bisa dipasarkan. Apa hasil panen harus dimakan sendiri atau dibagikan tetangga gratis?

Namun perlu mempertimbangkan aspek pemasaran kita. Semua hal bisa saja dijual. Dengan pertimbangan meningkatkan kesejahteraan, tapi ditumpangi niat keserakahan, apa yang ada di depan mata dijual. Tidak usah jauh-jauh. Bisa dilihat Hasil bumi, tanaman, bibit, daun, tanah, batuan, dan apa yang ada disekitar ruang hidup manusia pun bisa dijual. Untuk itu, dengan internet, sangat memungkinkan petani untuk memasarkan segala yang dimilikinya agar bisa terjual. Apalagi dengan ketidaktahuan petani, orang-orang di luar negeri sana bisa mencuri kekayaan alam negeri ini.

Mengutip pernyataan seorang dosen pada saat memberi kata sambutan kepada mahasiswanya yang akan melaksanakan Ekskursi Tumbuhan Obat di Pasir, menyatakan: “Saya merasa bangga kepada kalian yang punya inisiatif untuk menginventarisir dan meneliti tumbuhan yang ada di daerah Kalimantan ini. Kalian akan mendapatkan banyak jenis tumbuhan yang juga banyak sekali manfaatnya bagi manusia. Kalian juga akan mendapatkan hal-hal baru yang mungkin di luar bayangan kalian selama ini. Kalian bisa memanfaatkan sebanyak-banyaknya dari tumbuhan yang kalian temukan.”

Tidak sampai disitu, “Namun satu pesan saya, setelah kalian dapatkan begitu banyak tumbuhan dan manfaatnya, sesampai di sini (kampus) harus kalian jaga informasi ini dari orang-orang yang bisa memanfaatkan dengan cepat. Karena kerja kalian sangat berarti bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat. Di kanan gedung ini ada kantor raksasa pengetahuan dari barat dan di sebelah kiri halaman ini ada raksasa pengetahuan dari timur. Kalau kalian tidak bisa menjaganya, maka kalian yang capek dan mereka yang mengambil hasilnya. Terlebih lagi rahasia pengetahuan di negeri ini terkuras habis oleh mereka”.

Makanya tidak heran, banyak jenis kekayaan alam dan budaya negeri ini sudah terjual ke negeri lain. Ambil contoh: tempe yang menjadi makanan tradisional masyarakat Jawa dan membudaya di Indonesia, sudah dipatenkan di Amerika bahkan juga di Jepang.

Petani harusnya menjual produk. Bukan menjual negeri, apalagi menjual diri. Nah, untuk bisa menjual produk inilah, para ahli, intelektual, dan praktisi yang berpengalaman perlu memberikan pencerahan kepada petani yang memang belum tahu. Masukan, informasi dan sosialisai teknologi ke masyarakat perlu dipertimbangkan hal ini. Sehingga petani bisa produktif menghasilkan produk-produk unggulan yang mampu bersaing dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas, serta dikemas dengan pemasaran yang baik.