Salah satu adik saya telah berumur dua puluh tahun lebih. Sampai sekarang ia jarang berada di rumah, sering bepergian atau bekerja ke luar daerah. Apalagi ketemu dengan orang tua, ia enggan. Padahal ia punya kesempatan untuk berdekatan dengan kedua orang tua. Kalau ditanya mengapa? Jawabanya: malas dan takut dimarahi ayah.
Sangat berbeda dengan saya, walaupun lebih dari separuh umur saya -yang tiga puluhan- jauh dari rumah, rasanya ingin sekali untuk sering-sering pulang. Apalagi bisa bercengkerama dengan kedua orang tua. Bahkan kalau di rumah bisa ngobrol semalaman atau tidur berdua dengan ayah atau ibu bergantian. Apa yang membedakan antara saya dengan adik saya yang satu ini?
Sekian lama saya kilas balik ke belakang, saya ingat-ingat tentang kehidupan dia dan saya cari-cari hal yang menyebabkannya, selama itu pula saya belum mendapatkan jawaban. Baru sekarang saya tersadar setelah saya punya anak dan berkaca pada anak saya. Anak saya baru berumur dua tahunan. Karena kami berdua-saya dan isteri- bekerja, anak saya titipkan kepada kakek-neneknya. Biasanya hari-hari berlalu begitu saja. Antarkan anak di pagi hari dan menjemputnya sore hari sepulang bekerja. Tak terasa telah terjalin kedekatan yang lebih antara anak saya dengan kakeknya dibanding dengan saya, ayahnya. Sampai di sini saya masih merasa biasa-biasa saja. Karena memang dia dan kakeknya lebih banyak waktunya berdekatan dibanding dengan saya.
Entah kenapa, setelah kami berdua datang dari bekerja, anak saya ini selalu minta perhatian. Setiap saya akan ke luar rumah atau pergi ke mana, anak saya ingin diajak serta. Bahkan kalau dua hari tidak juga diajak jalan-jalan bersama dan bercengkerama, mesti dia mengajak entah ibunya atau saya-bapaknya, jalan keluar. Yang pasti di jalan ngajak cerita macam-macam hal yang ditemuinya. Cerita tentang mobil di jalan, lampu jalan, bulan, bintang, atau apa saja, hanya sekedar tertawa bersama bahkan bisa lari kejar-kejaran, karena saya khawatir pada saat jalan dia lari ke tengah, sehingga saya harus menjaganya agar tetap jalan di pinggir, dan seterusnya hingga dia capek dan minta pulang atau saya yang capek dan ngajak pulang.
Sampai suatu saat saya harus ke luar kota selama sepekan. Otomatis anak saya lebih banyak lagi dititipkan ke rumah kakeknya jika ibunya ada kepentingan keluar rumah atau jika tidak ada yang momong dan sebagainya. Sepulang dari luar kota anak saya ini saya ajak pulang tidak mau. Ayo pulang sama abi? dijawab, “Tidak”. Tidak tahu saya kok menanyakan, siapa bapakmu? Ia jawab dengan spontan, Mbah Kung. Karena anak saya memanggil saya ‘abi’ dan memanggil kakeknya ‘mbah kakung’. Sampai di sini saya pun belum sadar. Dan kejadian yang lucu itu terulang, ketika anak saya ditanya orang, “Siapa bapakmu?” Jawabnya, “Mbah Kung” Saya baru sadar, kenapa? Karena istri saya beserta kakak dan adiknya memanggil kakeknya anak saya itu dengan sebutan, ‘bapak’. Rupanya yang banyak terekam dalam benak anak saya adalah Mbah Kakungnya.
Akhirnya saya harus memberi perhatian dan membangun kedekatan kembali dengan ekstra, atas ‘kelalaian’ saya selama ini. Juga membayarnya dengan jadwal dan perhatian yang lebih dari biasanya, seperti: mengkhususkan waktu untuk jalan bersama dengan keluarga, menjemputnya tepat waktu, mengajak keliling-keliling ketika ingin belanja atau ke tempat saudara, dan sebagainya.
Kembali kepada adik saya, sewaktu lahir hingga umur lima tahun adik saya yang satu ini ditinggalkan oleh ayah bekerja ke luar daerah. Demikian sesampainya ayah di rumah, tetap memperlakukan hal yang sama kepada seluruh anak-anaknya. Tak terkecuali adik saya ini. Maklum keluarga saya adalah keluarga besar. Sehingga selama itu pula jarak kedekatan itu masih terbuka menganga. Belum ada tanda-tanda untuk direkatkan. Sedangkan saya selalu ditunggui ayah dan ibu. Bahkan dibandingkan jarak kelahiran saya dengan adik saya langsung, saya paling jauh jaraknya dan jarak kelahiran antara saya dan kakak-kakak yang lain, saya paling dekat jaraknya. Sehingga saya bisa menikmati kasih sayang yang lebih dibandingkan adik-adik atau kakak-kakak saya.
Ayah saya tidak menyadari kalau adik yang satu ini belum ada jalinan kasih sayang yang lebih dengan ayah sebelumnya. Bahkan sama pun belum jika dibanding dengan kakk-kakak atau adik-adiknya yang lain. Dan sekarang diperlakukan sama rata dengan kakak-kakaknya, termasuk dalam hal perintah dan hukuman Sehingga sampai umur beranjak remaja pun, yang terngiang dibenaknya bahwa ayah itu seorang yang suka menyuruh, suka membatasi apa yang menjadi keinginannya, bahkan menghukumnya jika ia berbuat salah. Ruang-ruang kedekatan dan kasih sayang itu tidak berbekas dalam benaknya. Apalagi usia-usia beranjak remaja ini adalah masa-masa yang rawan dan masa usia yang mulai untuk mencari identitas siapa dirinya dan mulai belajar mandiri, melepaskan ketergantungan dengan orang yang ada di sekitarnya.
Wajar jika orang bijak mengatakan, “Bangunlah kedekatan dengan anak hingga umur sekolah menengah, jika seumur itu belum terjadi kedekatan dengan anak kita, maka kita akan kesulitan untuk membangun kembali kedekatan itu. Bahkan perlu usaha ekstra keras untuk membangun kedekatan dengan anak jika diumur itu belum terjalin.”
Rasulullah pun mencium anak-anak dan mengajak bermain dengan anak-anak dan cucu-cucunya sewaktu kecil. Ini adalah pondasi bangunan kedekatan dan kasih sayang, antara anak dengan bapak atau kakek dengan cucu. Sehingga di lain kesempatan jalinan kedekatan itu masih tertoreh indah dan tetap terjaga hingga akhir hayat. Dan jika ada permasalahan antara keduanya atau dengan yang lainnya di suatu hari, maka dengan intervensi kedekatan dan kasih sayang ini segala permasalahan akan mudah dipecahkan.
Rasulullah pun memberikan perhatiannya yang lebih kepada anak yatim, yang tidak bisa menikmati kehadiran ayahnya di hari raya dan Rasulullah menanyakan mengapa ia bersedih di hari raya ini? Rasulullah mengajak pulang ke rumah, menggantikan pakaian dan memberikan makan, dan menyampaikan kepada sang anak yatim bahwa Rasulullah siap menjadi pengganti ayahnya, dengan mengatakan, “Apakah engkau mau saya menjadi pengganti ayahmu dan Fatimah sebagai ibumumu? Hasan dan Husein sebagai kakak dan adikmu?” Sehingga muka si anak menjadi ceria dan bermain bersama dengan keluarga Rasulullah di hari raya. Ini adalah jaminan kedekatan dan kasih sayang Rasul kepada anak yatim yang papa di hari raya.
Setelah mengaca pada kehidupan saya dengan adik saya, ada dua ganjalan yang masih menjadi pertanyaan saya. Apakah saya bisa memberikan perhatian yang sama seperti perhatian ayah saya kepada anak saya? Dan apakah saya bisa memberikan perhatian kedekatan yang sama antara anak saya sekarang dengan anak-anak saya yang lain nantinya? Wallahu’alam.
0 comments:
Post a Comment