Musim haji sudah usai. Paman Hisyam, nenek Hishmah dan kakek Wahab baru datang dari tanah suci. Fatma ingin dekat dengan Paman Hisyam, karena memang sudah lama ia tidak bertemu. Mereka saling bercerita melepas rasa kangen.
Paman Hisyam adalah mahasiswa Al-Azhar. Kata Paman Hisyam, ia setelah menunaikan haji bersama, sekalian pulang ke tanah air, mengantarkan nenek dan kakek.
Fatma penasaran sekali ingin mendengar cerita tentang tempat Paman Hisyam menuntut ilmu tersebut.
“Ceritakan dong, Paman tempat Paman belajar itu,” rengek Fatma.
“Ya. Saya mulai, asal kamu perhatikan, ya”, kata Paman Hisyam.
“Al-Azhar adalah lembaga waqaf yang didirikan pada masa bani Fathimiyah oleh Panglima Jauhur Ash-Shiqili. Al-Azhar dibangun sejak 29 Jumadil Ula 359 H/970 M berupa masjid. Digunakan untuk sholat Jumat bersama pada tanggal 7 Ramadhan 361 H. Berarti sudah berapa tahun Al-Azhar berdiri sampai sekarang?”, kata Paman Hisyam.
Karena sibuk mendengarkan, Fatma kaget. “Apa Paman?”, Tanya Fatma memperjelas.
“Sekarang kurang lebih berusia 1070 tahun. Lama kan?”, jelas Paman Hisyam. Makanya mendengarkan cerita tidak boleh sambil bengong”, kata Paman.
“Pendirian masjid ini awalnya dilakukan oleh Panglima ‘Amru bin ‘Ash ketika menguasai Mesir. Atas perintah Khalifah Umar, Panglima ‘Amru mendirikan masjid pertama di Afrika yang kemudian dinamakan masjid ‘Amru bin Ash di kota Fushthat, sekaligus menjadi pusat pemerintahan Islam Mesir ketika itu, selanjutnya dimasa dinasti Abbasiyah ibukota pemerintahan ini berpindah lagi ke kota yang disebut Al-Qotho’i dan ditandai dengan pembangunan masjid bernama Ahmad bin Tholun.”
“Sudah menjadi suatu kaedah tak tertulis bahwa peradaban Islam di suatu daerah selalu dikaitkan dengan peran masjid jami’ (masjid negara) dikawasan tersebut. Hal ini mungkin diilhami dari kerja nyata Rasulallah SAW. Ketika hijrah ke Madinah. Tugas pertama yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi. Ini menandakan peran masjid yang tidak hanya terbatas pada kegiatan rituan semata. Tapi lebih dari itu, masjid adalah sentral pemerintahan Islam, sarana pendidikan, mahkamah, tempat mengeluarkan fatwa, dan sebagainya”, lanjut Paman Hisyam.
Kemudian…
“Tiba era Daulah Fathimiyyah (358 H./969 M.) ibukota Mesir berpindah ke daerah baru atas perintah Khalifah Al-Mu’iz li Dinillah yang menugasi panglimanya, Jauhar Ash shiqilli, untuk membangun pusat pemerintahan. Setelah melalui tahap pembangunan daerah ini dinamai kota Al-Qohirah.”
“Nah, pada masa khalifah Al Aziz billah, sekeliling Jami’ Al-Qohirah dibangun beberapa istana yang disebut Al Qushur Az Zahirah. Istana-istana ini sebagian besar berada disebelah timur (kini sebelah barat masjid Husein), sedangkan beberapa sisanya yang kecil disebelah barat (dekat masjid Al Azhar sekarang), kedua istana dipisahkan oleh sebuah taman nan indah. Keseluruhan daerah ini dikenal dengan sebutan “Madinatul Fatimiyyin Al-Mulukiyyah”. Kondisi sekitar yang begitu indah bercahaya ini mendorong orang menyebut Jami’ Al-Qohirah dengan sebutan baru, Jami’ Al Azhar . Gitu Fatma…”, lanjut Paman Hisyam.
“Dinamakan Al-Azhar berasal dari kata Zahra’ yang berarti bersinar, bercahaya, berkilauan; karena Al-Azhar banyak ilmuwan dan ulama internasional. Pada abad ke-9 H muncul ilmuwan, seperti Ibnu Khaldum, Al-Farisi, As-Suyuthi, Abdul Latif Al-Baghdadi, Al-Magrizi dan lain-lain yang telah mewariskan ensiklolopedi Islam dan arab”, terang Paman Hisyam lagi.
“Pada abad pertengahan masehi, Al-Azhar jadi benteng ummat Islam untuk melawan penguasaan dan penjajahan bangsa Eropa, baik Nasrani maupun Yahudi. Ini mewarisi perilaku Shalahuddin Al-Ayyubi di 1171 M, yang mampu merebut kembali Masjidil Aqsha di Palestina ke dalam pangkuan Islam”, jelas Paman Hisyam.
“Wah seru sekali cerita Paman ini”, kata Fatma memperhatikan.
“Pada pertengahan abad ke XX, di Azhar mulai mempelajari sistem penelitian yang dilakukan universitas di barat, dengan mengirim alumni-alumni terbaiknya belajar di Eropa dan Amerika. Tujuanya adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah di tingkat internasional sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan Islam yang benar. Pembenahan ini tidak lepas dari jasa Syekh Muhammad Abduh (1849–1905 M) yang mengusulkan perbaikan sistem pendidikan Al-Azhar dengan memasukan Ilmu-ilmu moderen ke dalam kurikulumnya. Seperti fisika, Ilmu Pasti, Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah. Tadinya pendidikan di Al-Azhar ini dengan sistem tradisional”.
“Paman, bagaimana caranya kok bisa bertahan lama?”, tanya Fatma ingin tahu.
“Wah, Al-Azhar ini selain dibantu oleh khalifah pada masa itu, juga keuangannya dari orang-orang kaya yang ada dan dukumpulkan. Pernah lho kas Al-Azhar ini sampai sepertiga dari keuangan negeri Mesir. Hebatkan?”, seru Paman Hisyam.
“Sekarang Al Azhar mempunyai rumah sakit Universitas: Husein Hospital, Zahra’ Hospital, dan Bab el Sya’riah Hospital. Lembaga pendidikan Dasar dan Menengah (Al Ma’ahid A Azhariyah). Biro Kebudayaan dan missi Islam (Idarah Ats-tsaqofah wal Bu’uts Al Islamiyah). Majlis tinggi Al Azhar (Al Majlis Al A’la Lil Azhar) Lembaga Riset Islam (Majma’ Al Buhuts Al Islamiyah). Hai’ah Ighatsah Al Islamiyah. Hebatkan…?,” terang Paman Hisyam.
“Nah, sejak mula berdirinya, studi Al Azhar selalu terbuka untuk semua pelajar dari seluruh dunia, hingga kini Universitas Al Azhar memiliki lebih dari 50 Fakultas yang tersebar diseluruh pelosok Mesir dengan jumlah mahasiswa/i melebihi angka 200 ribu orang. Itulah potret Al Azhar yang tetap tegar hingga sekarang’, tutup Paman Hisyam menyelesaikan penjelasannya.
“Terima kasih Paman. Nanti bisa saya sampaikan cerita ini ke teman-teman di sekolah”, kata Fatma menutup pembicaraan.
0 comments:
Post a Comment