Spiga

Memilih Jurusan

Faiz, Farid, dan Faris, tiga orang bersahabat yang hampir dipastikan selalu bersama. Setelah lulus SMA mereka menghadapi problem masing-masing.
Faiz dituntut oleh bokapnya untuk kuliah di Fakultas Ekonomi, dengan harapan bisa ngembali’in investasi yang sudah ditanam bokapnya sebelum kuliah itu. Yang menurut Faiz, bokapnya emang matre amat. Belon juga masuk PTN dah disuruh ngegantiin segala investasi.
Lain Farid, ia dari keluarga pas-pasan. Ortunya mengandalkan dirinya untuk mendongkrak kehidupan dan martabat keluarganya. Makanya, jika Farid meraih gelar Insinyur Pertanian, itu kata ortunya, kalo sekarang kan gak ada, bakalan bisa jadi pagawai negeri atau menjabat kedudukan lumayan bila kerja di swasta.
Lain lagi bagi Faris, anaknya emang oke punya. Pinter, kaya, kece, aktif di ekskul and murah hati lagi. Ngajarin teman plus Inraktir mah, udah biasa. Jadi jangan heran kalo banyak cewek yang mendekati berusaha mengambil hatinya. Tapi inilah yang menjadi masalah baginya.
Sekarang mau apalagi mereka bertiga, kalau nggak minta pendapat kepada orang yang lebih tahu.
Akhirnya mereka mendatangi seorang ustadz untuk konsultasi atas problemnya masing-masing. Bukan kepada dukun atau tukang sulap. Eh lupa, Bimbingan Konseling. Tahukan, kalau konsultasi ke dukun... Ih, syereem!
Kalau ke Bimbingan Konseling, paling ujung-ujungnya, ”Kamu harus masuk jurusan favorit dengan gelar mentereng, kerja di perusahaan bonafit. Bisa beli rumah pribadi, mobil pribadi, dan dapat istri pribadi cuaaan...theeek sekallleee (eh, cantiknya pribadi juga lho. Karena cantik miliknya dia sendiri dan suaminya, tidak harus dibuka dan dipamerin ke orang lain khan?)”
Kenapa memilih ustadz? Lantaran mereka sering dengar ceramah ustadz tersebut dan terkesan mandalam dengan kandungan ceramahnya. Pas lah sudah kalu ketiganya konsultasi ke ustadz.
Kata Ustadz, ”Kalian sudah saya anggap dewasa. Sudah mampu diajak berfikir lebih jauh bagaimana menuntut ilmu dan apa arti ilmu itu sendiri. Kita yang dilahirkan tidak memiliki pengetahuan sesuatu pun. Allah SWT lah yang memberikan dan mengajarkan ilmu itu kepada kita melalui pendengaran, penglihatan, dan hati. Ingat firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 78, yang berbunyi:
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.”
Untuk itu, kalau kalian menuntut ilmu berarti menuntut ilmu Allah. Jadi ilmu yang diberikan Allah kepada kalian, untuk ditujukan kepada Allah, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Karenanya nanti diminta pertanggungjawaban atas ilmu kalian.”
”Ustadz, terus bagaimana dengan ilmu yang kami tuntut selama ini. Kan tidak ada kaitanya dengan ibadah?” tanya Faiz penasaran.
”Sifat ilmu kan bermacam-macam. Ada ilmu yang harus dipelajari. Hukumnya Fardhu A’in. Setiap muslim dan muslimah harus dan wajib menuntutnya, yaitu ilmu tentang aqidah, syari’ah dan ibadah, dan ilmu-ilmu yang menjadi syarat untuk dapat mempelajari ketiga ilmu tersebut. Ingat, jika suatu kewajiban tidak sempurna karena sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib pula. Seperti Bahasa Arab, fiqh, tafsir, ilmu kalam, dll.
Selain itu, ada ilmu yang hukum menuntutnya menjadi Fadhu Kifayah. Yaitu ilmu yang diharuskan dari sekelompok masyarakat muslim untuk mengutus satu atau beberapa orang untuk menuntutnya, terutama bagi pemimpinnya. Jika sudah ada yang menuntut ilmu tersebut, tidak diharuskan bagi yang lain. Namun bila tidak ada, berdosalah seluruh kelompok masyarakat muslim tersebut. Ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah ini merupakan ilmu yang dibutuhkan masyarakat zaman sekarang ini, baik ilmu hukum dan pendalaman ilmu alam, seperti: kedokteran, matematika, kimia, teknik, ekonomi, dan lainnya.
Oleh Al-Ghazali ilmu kemasyarakatan ini dibagi menjadi dua, yaitu ilmu syari’at: ilmu yang didapatkan dari para nabi, dan ilmu non syari’at. Nah ilmu non syari’at ini dibagi menjadi ilmu Mahmud (baik), Madzmum (tercela) dan Mubah (netral/boleh).
Bukankah dengan ilmu kita beribadah dan jika tidak punya ilmunya janganlah kita lakukan perbuatan itu. Dan jangan lupa bahwa semua perbuatan kita seharusnya ditujukan untuk beribadah kepada Allah SWT. Bukankan setiap perbuatan baik yang dimulai dengan Bismillah akan dinilai ibadah oleh Allah SWT?” jawab ustadz panjang lebar.
”Terus apa hubungannya dengan ilmu yang kami dapatkan di sekolahan selama ini?” tanya Farid menimpali.
”Ilmu Mahmud in iterbagi menjadi ilmu yang hukumnya Fardhu Kifayah dan ilmu yang hanya merupakan suatu keutamaan (fadhillah). Di sinilah kedudukan ilmu yang kalian tuntut di sekolahan atau di perguruan tinggi nanti.
Belajar ilmu politik, ekonomi, hukum, kedokteran, pendidikan, pertanian itu pada ilmu Fardhu Kifayah. Kalau mempelajarinya lebih dalam lagi kalian mendapatkan keutamaan (fadhillah) dari ilmu tersebut”, jawab Ustadz.
”Kalau demikian ilmu apa yang cocok bagi kami Ustadz?” tanya Faris tidak sabaran.
”Saya kira kalian lebih tahu kemampuan diri kalian sendiri, yang cocok dimana. Saya hanya mendudukan ilmu tersebut pada tempatnya. Dengan melihat kecenderungan masing-masing dan latihan-latihan yang kalian lakukan. Kemudian mempertimbangkan kepentingan keluarga dan masyarakat kalian sehingga kalian dapat memilih juurusan yang paling baik bagi masing-masing. Dan perlu diingat karena ilmu yang kalian tuntut di perguruan tinggi nanti adalah ilmu Fadhu Kifayah, maka ilmu Fardhu ’Ain tidak boleh dilupkan”, kata ustadz tandas.
Sampai hari ketiga menjelang ujian masuk perguruan tinggi, ketiganya masih bingung menentukan jurusan. Tanya sana, tanya sisni sampai muyaaak. Eh, ternyata tidak puas juga. Keputusan mereka, mendatangi ustadz itu lagi. Lama sekali menunggu kedatangan ustadz karena bepergian ke luar kota.
Gelisah, bingung... Akhirnya sang ustadz datang juga. Kemudian langsung mengemukakan kesulitannya. Jawab ustadz singkat, ”Tolong pikirkan dengan hadits Rasulullah ini, Insya Allah kalian dapat memilihnya dengan tepat.
”Barang siapa menghendaki kebahagiaan dunia maka hendaklah dengan ilmu. Barang siapa menghendaki kebahagiaan akhirat hendaklah dengan ilmu. Dan barang siapa menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat maka hendaklah dengan ilmu”. Demikian jawaban ustadz tanpa basa-basi lagi.
Pengumuman ujian masuk perguruan tinggi telah selesai. Alhamdulillah berkat usaha keras dan do’a, mereka semua diterima di perguruan tinggi negeri (jieee....). Hari pertama masuk kuliah, Faiz, Farid dan Faris berjalan mantap siap menghadapi tantangan masa depan. Mereka tetap mempertimbangkan keinginan orang tua masing-masing. Faiz diterima di Fakultas Ekonomi, Farid di Fakultas Pertanian dan Faris di Fakultas Keguruan.
Apa jawab mereka kalau ditanya, mengapa masuk fakultas itu? Karena ketiga profesi dari fakultas itu telah diterapkan oleh sang ustadz dengan baik. Beliau seorang petani yang menjual hasil pertaniannya di pasar sendiri. Selain tetap mengajarkan ilmu-ilmu agamanya kepada masyarakat. Aneh!
Ketiganya pun bertekad tetap mempelajari ilmu Fardhu ’Ain yaitu Al-Islam lebih dalam lagi dengan memasuki kerohanian Islam di kampus, selain tetap aktif di IRMA masjid dekat rumahnya. (jsp, smd, jun95)

7 comments:

marsudiyanto

July 10, 2008 at 9:15 PM

Entah kebetulan atau tidak, membaca postingan ini saya seperti membaca kejadian nyata, seperti membaca berita di koran. Anak saya namanya Faiz, teman sekelasnya Farid dan Fariz, sama2 lulus SMA tahun ini, sama2 punya alasan pendukung untuk melanjutkan di Perguruan Tinggi yang dipilih. Bedanya antara postingan ini dengan realita, anak saya si Faiz melanjutkan di PTS Semarang dengan pertimbangan tidak terlalu jauh dengan kami sehingga bisa pulang dalam beberapa jam. Mau ikut tes di negeri sudah capek katanya, capek tes, capek beli formulir. Harga 1 formulir diatas BTL untuk 1 bulan. Pertama memang diterima di Bandung, tapi karena jauh dan biaya kuliahnya tak mampu aku bayar, akhirnya tidak diambil. Si Farid temannya, diterima PMDK D3 di Politeknik, karena lebih pandai. Tanpa nolah-noleh, kesempatan itu diambil. Yang Fariz tidak melanjutkanpun lebih terjamin, karena orang tuanya kaya. Mohon doa restunya buat anak saya ya Mas...

treen

July 11, 2008 at 12:16 AM

Lha wong ini rekaan lho Pak. Kalau namanya cocok dan kejadiannya cocok, wah.. itu kebetulan aja.
Tulisan ini memang untuk menjelaskan kepada adik-adik saya yang lagi bingung menentukan kemana ia mencari ilmu.
Ya kalau pas, monggo kerso.
Saling mendo'akan dan semoga sukses.

Street Spirit

July 11, 2008 at 11:36 AM

Cerita yang menarik, seperti kembali ke masa lalu... Tapi yang penting mantap atas pilihan yang diambil....

ujan

July 12, 2008 at 7:30 PM

ceritanya bagus :D
saya pikir sungguhan.. ternyata rekaan..

pada akhirnya.. smua keputusan yang kita ambil, kita putuskan sendiri.. dan keinginan orang tua tidak selamanya sesuai untuk si anak :)

Anonymous

July 13, 2008 at 7:32 AM

wah...postingan ni...jadi inget dulu waktu baru aja lulus sma...semangat mas!!! lamkenal juga yaw...tukeran link deh... hehe...
semangat muda semangat ngeblog!!!

pyuriko

July 13, 2008 at 6:37 PM

Cocok dengan keadaan sekarang ini,... dimana banyak calon mahasiswa yang masih bingung menentukan pilihannya. Mau ini, atau itu...

Yang pasti, kembali lagi kepada kemampuan individunya,... mau yang manakah yang dipilihnya. Jangan sampai kedepan salah memilih.

Vina Revi

July 14, 2008 at 6:47 PM

Yang jelas, orang akan berhasil jika dia menekuni sesuatu yang dia cintai. Jadi? Jangan sampe memilih jurusan hanya karena alasan, "disuruh orang tua!" ...

Dan sebagai orang tua juga jangan merasa bahwa, "Kan gw yang bayarin kuliah elu. Jadi elu kudu nurut apa kata gw, dong!".