Spiga

Lulus Ujian!

Segores kenangan saat lulus SMA pun terulang kembali. Ada yang pake aksi corat-coret, ntraktir teman, pawai sorak-sorai, bahkan juga ngetrek keliling kota. Lebih tragis lagi, keselamatan jiwa pun untuk sementara dilupakan.
Kalau kita bercermin layaknya seorang muslim, jelas, hal itu dinilai sangat mubazir. Betapa tidak. Semestinya seorang muslim meluapkan keberhasilan dan kemenangan dalam tasbih dan istighfar (QS. An-Nashr: 1-3). Sebab boleh jadi pada saat yang sama, teman kita yang lain sedang bergumul dengan kesedihan akibat dari kegagalanya.
Sekarang mungkin anda masih bisa tertawa lebar tanpa mengerti dan mau mengerti kesedihan orang lain. Tapi begitu kegagalan itu berbalik dan menghampiri, misalnya: gagal meraih PTN yang diminati, apa mau dikata? Mau gigit jari atau malah menangis? Akankah lebih baik jika kita introspeksi diri. Sudah maksimalkah usaha saya, baik kerja maupun do’a? Kalau sudah, mungkin ini ujian dari Allah SWT. Bukankah Allah Maha Tahu, apa yang terbaik bagi umat-Nya?
Nah, bila usaha telah digencarkan, bahkan segala daya dan upaya guna meraih cita-cita telah dikerjakan. Adalah paling baik bila kita serahkan seluruhnya (tawakkal) kepada Allah SWT (QS. Ali-Imran:159). Bukankan tawakkal adalah sebaik-baik sikap setelah berusaha dengan penuh kesungguhan.
Ingat, Ujian Masuk Perguruan Tinggi hanya sebuah fase, bukan segala-galanya. Dan keyakinan itu sangat perlu ditanamkan agar dapat menentramkan hati sekaligus menyiapkan mental untuk dengan lapang dada menerima takdir Allah bahwa lulus atau pun tidak lulus adalah ujian. Yah, ujian dari Allah SWT.
”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak akan diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut:2-3)

Pesan Terakhir

Gerimis di luar seolah memagari alam, termenung aku di sini sambil memandangi rintik-rintik di luar jendela kamarku yang semakin lama makin membesar. Aku jadi teringat kejadian tiga tahun yang lalu, waktu itu aku baru kelas III SMA, keadaannya sama seperti sekarang, ditengah guyuran hujan.
Saat itu....
”Sin, Pulang yuk!”. Aku masih menyalin tugas untuk besok, acuh tak acuh oleh ajakan Sari, Sahabatku. ”Kamu kenapa sih, kok diam aja, marah ya?”. Aku masih diam. Ya udah, kalau gitu aku tunggu di luar ya”. Serta merta aku menarik tangan Sari, soalnya kalau dia ngambek susah ngobatinya. ”Sorry ya Sar, kamu tadi kucuekin, lagian kamu kan tahu, aku ini lagi kesel gara-gara Erwan tadi, lagi pula..., di luarkan hujanya deras”.
”Makanya Sin, kalau lagikesel sama orang, langsung aja ke orangnya, jadi nggak nyakitin hatimu sendiri, sampe-sampe aku kena batunya. Kalau masalah hujan deras..., kan ada payung, lagian..., tuh Pak Mamat udah jemput.”.
”Iya iya. Sorry deh. Eh... ngomong-ngomong Pak Mamat markir mobilnya di sebelah mana? Kok gak kelihatan di tempat biasa?”
”Eh kamu aja yang gak ngeliat, itu loh di bawah pohon akasia, tuh Pak Mamatnya lagi melambaikan tangannya, kalau mobil wajar aja gak keliatan karena bukan mobil yang biasa dipake, mobil yang satunya lagi masuk bengkel, maklum udah tua”.
Sari anak tunggal, bukan hanya cantik, tapi juga tajir (kaya). Bapaknya seorang pengusaha sukses yang bergerak di bidang jual beli mobil. Ibunya adalah seorang psikolog terkenal. Tapi dia gak betah di rumah, oleh karena itu lebih sering main dan belajar di rumahku, yang kebetulan tidak begitu jauh dari rumahnya.
Mengenai kekesalanku tadi, itu karena Erwan, si ketua Rohis yang sok alim itu, kalau jalan tunduk-tunduk, bicara dengan lawan jenis selalu memalingkan wajahnya dari si lawan bicara, kalau manggil kita pake mbak-mbak segala, emangnya aku mbaknya apa, yang bikin aku kesal tadi dia udah berani mengkritik aku, dia bilang rok aku kependekanlah, bicaraku terlalu semangatlah, padahal aku ngomongkan pake mulutku sendiri, dasar rese’!, nyebelin, walaupun dia ngomongnya dengan lemah lembut, tetep aja nyebelin, menggurui!.
Awal permasalahannya sih, waktu dia mengantar tugas dari Pak Bahran guru Agama, dia memanggilku, ”Mbak Sinta, ini ada titipan tugas dari Pak Bahran, beliau tidak masuk hari ini karena mengantar istrinya yang mau melahirkan”, aku cepat-cepat menghampirinya untuk mengambil tugas itu, eh.. tiba-tiba aku terjungkal karena ada yang iseng mengikat tali sepatuku jadi satu kiri dan kanan. Rokku yang udah kependekan tersingkap beberapa senti, menambah riuh sorakan anak putra yang sejak tadi memperhatikan kami. Aku langsung teriak, ”Siapa yang berani kurang ajar begini?”, anak-anak langsung diam, mereka sebagian besar memang rada takut padaku, karena selain aku ketua kelas, gak nyombong sih, aku sudah sabuk putih pencak silat. Tapi kulihat sekilas Erwan berpaling ke arah lain, aku cepat-cepat membetulkan tali sepatuku dan berdiri, kemudian menghampirinya untuk mengambil tugas itu, Eh dia bukanya langsung menyerahkan tugas itu, malah ceramah dulu. ”Maaf ya mbak, lain kali roknya agak dipanjangin lagi, jadi nggak bikin orang lain punya niat jail, satu lagi, nuwun sewu ya mbak, nggak baik lho kalau wanita itu suaranya sopran”. Emang sih nada bicaranya Erwan sopan, tapi isinya nyelekit banget.
Keesokan harinya seperti biasa aku menunggu Sari, di depan rumahnya, lumayan kan buat irit ongkos, tapi yang ditunggu-tunggu kok gak nongol-nongol juga. Akhirnya aku berangkat sendiri dari pada terlambat, bisa-bisa ketinggalan pelajaran jam pertama. Bel berbunyi tepat ketika aku melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang sekolah, aku pun segera berlari menuju kelas. Sampai di kelas, kok aku belum menjumpai wajah Sari. Hingga bel pulang berbunyi pun Sari belum ada kabarnya. Perasaanku jadi gak enak.
Pulang sekolah aku pun langsung ke rumahnya, ternyata di rumah tidak ada siap-siapa, aku tanya tetangganya, katanya tadi malam ada polisi yang datang ke rumahnya, kemudian bapak dan ibunya pergi bersama-sama polisi itu. Kucoba untuk menghubungi telepon seluler milik ibunya, ternyata ibunya ada di rumah sakit. Tergesa-gesa aku menyusul ke rumah sakit, kulihat Sari terbaring lemah dengan wajah cantiknya yang nampak pucat dan lengan yang diinfus, ada bekas darah mengering di sekitar lehernya, dan kulihat wajahnya lebam biru-biru, menurut keterangan polisi, Sari korban perampokan dan pemerkosaan.
Menurut ibunya, malam itu, Sari pamit mau ke rumahku, ternyata dia tidak menuju rumahku, malah jalan-jalan sama anak-anak teman bisnis bapaknya. Sari memang punya genk sendiri selain berteman dengan aku. Setelah jalan-jalan mereka mampir ke diskotik dan mabuk-mabukan di sana. Sari kemudian pulang sendiri karena teman-temannya pada teler abis. Ketika itulah, tepat di simpang dekat rumah kami, dia dihadang oleh sekelompok preman yang biasa mangkal di situ, apalagi aku tahu kalau Sari suka pake baju yang seksi abis. Yah aku bisa ngebayangin gimana kejadian naas itu bisa terjadi. Tiba-tiba kudengar dari dokter bahwa Sari memanggil keluarganya, termasuk aku, karena kondisinya kritis.
Di saat-saat terakhir itulah, Sari dengan butiran bening di matanya menggenggam tanganku sambil berkata lirih, ”Cukup aku saja Sin yang begini, kuharap kamu mau mendengar kata-kata Erwan waktu itu, jangan seperti a...ku.” Dengan air mata berlinang kutuntun Sari untuk mengucapkan kalimat syahadat, akhirnya dia menghembuskan nafas yang terakhir di hadapanku. Aku hanya bisa menangis dalam bisu sambil berjanji pada diriku sendiri untuk berubah.
”Mbak Sinta... cepetan keluar, tuh tamunya udah pada datang!” Aku tersadar dari lamunanku, kurapikan gamis dan jilbab biruku. Maklum mau ada ta’aruf. Denger-denger sih calonku itu pernah satu sekolah denganku, dengan langkah cepat dan deg-degan aku kemudian keluar. Aku menjerit di dalam hati melihat tamu yang ada di hadapanku, Subhanallah, ternyata ikhwan itu adalah Erwan. Tak henti-hentinya aku bertasbih di dalam hati untuk menahan gemuruh di dada ini.
Ny, bpp, 211001

Sekolah Hanya Untuk Mengisi Waktu Luang

Kamu tahu nggak bahwa asal kata school itu dari schoolare, dari bahasa Latin, yang artinya hanya mengisi waktu luang. So, kalo school itu maknanya untuk ngisi waktu luang doang. Emang tadinya sekolah hanya digunakan untuk mengisi waktu luang. Kemudian dibuatlah cara agar ngisi waktu luangnya bisa bermanfaat (itu katanya lho). Ini nih definisi school menurut orang barat sono. Nah, kalo untuk ngisi waktu luang doang, ngapain kita susyah-susyeh? Eh nggak ding, tengok tuh pengertian yang lain.

Kalo kamu lihat tuh arti yang sering diidentikkan dengan sekolah dalam bahasa Arab, yaitu madrasah. Asal katanya da ra sa yang artinya belajar dan membaca. Dari kata madrasah ini didefinisikan menjadi tempat proses belajar mengajar yang terkait dengan ajaran Islam dengan dipandu oleh kurikulum. (Nggak ku ku deh pengertian madrasah dengan school, jelas lebih bermanfaat madrasah kan?. Setujuuu???!!!)

Merujuk pengertian dari bahasa Arab di atas, jieehhh…, menunjukkan bahwa tempat belajar tidak mesti di suatu tempat tertentu yang khusus, tetapi bisa dilaksanakan di mana saja, di rumah, di surau, langgar atau masjid, bahkan di ladang, di laut atau tempat lain yang memungkinkan untuk proses belajar mengajar. Jelaskan? Rumah, surau, langgar dan masjid, memegang peranan penting dalam perkembangan pendidikan Islam. Tapi akhirnya kata madrasah ini ‘ditempelkan’ hanya pada nama sekolah agama Islam. (Ini nih mulai mempersempit arti madrasah).

Pada masa Rasulullah saw proses belajar mengajar yang dikenal oleh orang di tempat Arqam bin Abil Arqam, suatu tempat belajar di rumah seorang sahabat yang memang belum banyak dikenal orang. Ini pendidikan awal pada era Islam secara formal, walaupun dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, karena dakwah Islam belum secara terbuka.

Nah pada zaman Rasulullah saw ini selanjutnya, tempat belajar juga sudah berlangsung di Masjid Nabawi, di suatu ruangan yang disebut suffah, yang sekaligus juga tempat menyantuni fakir miskin. Belajar di suffah ini berlangsung hingga masa Khulafaur Rasyidin dan Bani Umayyah. Di suffah inilah para pejuang Islam, hufadz, dan yang nantinya dikenal sebagai perawi hadits dididik.

Model belajarnya dengan sistem halaqah (murid duduk bersila di sekeliling guru), seperti yang berlangsung di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan masjid di Bagdad, Kufah, Basra, Damascus dan Cairo hingga akhir abad ke-20. Bahkan sampai ke pesantren-pesantren pun masih menggunakan metode ini. (Makanya kalo kamu diajak belajar halaqah, kaya’ mentoring itu lho, jangan malas. Karena itu tu sudah berabad-abad terbukti paling ocheee. Eh ini bukan hanya hasil survey lho…tapi bukti)

Terus karena banyak peminatnya, dibuatlah tempat khusus di luar masjid untuk mengajar anak-anak mambaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an dan dasar-dasar Islam yang disebut khuttab. Akhirnya berkembang lagi nih, dibuatkan tempat khusus untuk belajar di sekitar masjid yang disebut zawiyat (khanqah atau ribat). Nah di zawiat ini proses belajar mengajar sudah teratur. Apa bisa ya sekolah Islam sekarang ini disamakan pengertiannya dengan khuttab atau zawiyat?

Madrasah pertama kali didirikan di dunia Islam sebagaimana bentuk dan sistemnya mendekati sekarang, adalah Madrasah Nizamiyah di Bagdad. Madrasah ini didirikan oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk. Kemudian berkembang ke berbagai kota dan negeri-negeri Islam. Kemudian di Cairo berdiri Perguruan Al-Azhar (yang masih berdiri sampai sekarang dan ini sebagai bukti pembanding hasil didikan Islam dengan didikan universitas di barat sono. Eh yang nulis juga belum ngalami kok), di Andalusia (Spanyol) berdiri Perguruan Cordoba dan di India Madrasah Deoband. Banyak nama-nama besar ulama Islam yang dididik di lembaga-lembaga pendidikan ini, seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi, dll.

Tahu nggak kalo perguruan di Cordoba inilah yang setelah jatuh ke tangan kaum Nashrani kemudian diadobsi, yang kemudian menjadi cikal bakal Universitas Cambridge, Oxford, Harvard, dan lainnya yang terkenal hingga sekarang di dunia barat sono.

Sekarang di Indo nih. Madrasah tidak terlepas dari lingkungan pesantren. Madrasah tersebar di berbagai wilayah, di Surakarta berdiri Madrasah Manba’ al-Ulum (1905), di Surabaya Madrasah Nahdatul Wathan, Madrasah Hizbul Wathan dan Madrasah Tasywirul Afkar, di Minangkabau Madrasah Diniyah (1915) oleh Zainuddin Labay El-Yunusy dan Madrasah Diniyah Putri (1923) oleh Rahmah El-Yunusiyah dan juga Madrasah Sumatra Thawalib (1916). Selanjutnya madrasah ini berkembang dan dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam yang bergerak di bidang pendidikan.

Dengan kedatangan Belanda mengubah sistem halaqah ini menjadi sistem klasikal yang merupakan sistem di sekolah-sekolah kolonial. Perubahan itu terjadi hingga sekarang untuk sekolah-sekolah negeri. Sedang madrasah yang susah diubah, karena terikat dengan pesantren juga sudah mendarah daging menjadi bagian budaya bangsa Indonesia, maka dikelola oleh Departemen Agama. (Nah lho semakin sempit lagi kan ruang lingkup madrasah …) Sehingga sekarang madrasah sudah jadi brand image bagi pendidikan Islam yang terbelakang, kumuh dan tidak berkualitas. Emang gitu ya?

So, kalo kita berkaca (eh emang manna cerminnya?) ke pengertian Islam tersebut kita jadi enjoy deh belajar, walau gak hanya ngisi waktu luang aja. And yang pastinya belajar, gak hanya berada dalam kotak kelas duduk sampai bosen, sambil mentengin guru lagi berdiri di depan. And pengertian madrasah emang tidak terlepas dari inti pendidikan Islam, so kalo kita-kita sudah belajar di sekolah (seharusnya madrasah lho…) yang ada di sekitar masjid, ini nih otomatis gak terlepas dari Islam juga kan? Sedang kita masih malas-malas belajar Islam and males ngamalinya, apa gunanya kita berpayah-payah di sini? Emang waktu kita sekian tahun umur kita terbuang hanya digunakan ngisi waktu luang? Nggak kan?
Eh ingat juga, salah satu hadits Rasulullah: al-Ummu madrasatun. (ini nih kembali ke pengertian madrasah). Berarti ibu adalah tempat kita belajar yang pertama kali. Nah! Tempat belajar kita yang utama tuh ke Ibu, Ibu dan Ibu. Yang artinya di rumah adalah tempat belajar yang utama. Kalo ortu udah nyerahin amanahnya ke madrasah (eh SDIT-SMPIT ding!) brarti tugas dan kewajiban kita slama sini sama aja tugas dan kewajiban kita kepada ortu di rumah So jadikanlah di rumah tempat belajar yang utama dan baik, bukan malah nonton tv dan main ps aja, sedang di sekolah hanya untuk ngisi waktu luang. Hah??? (jsp)

Memilih Jurusan

Faiz, Farid, dan Faris, tiga orang bersahabat yang hampir dipastikan selalu bersama. Setelah lulus SMA mereka menghadapi problem masing-masing.
Faiz dituntut oleh bokapnya untuk kuliah di Fakultas Ekonomi, dengan harapan bisa ngembali’in investasi yang sudah ditanam bokapnya sebelum kuliah itu. Yang menurut Faiz, bokapnya emang matre amat. Belon juga masuk PTN dah disuruh ngegantiin segala investasi.
Lain Farid, ia dari keluarga pas-pasan. Ortunya mengandalkan dirinya untuk mendongkrak kehidupan dan martabat keluarganya. Makanya, jika Farid meraih gelar Insinyur Pertanian, itu kata ortunya, kalo sekarang kan gak ada, bakalan bisa jadi pagawai negeri atau menjabat kedudukan lumayan bila kerja di swasta.
Lain lagi bagi Faris, anaknya emang oke punya. Pinter, kaya, kece, aktif di ekskul and murah hati lagi. Ngajarin teman plus Inraktir mah, udah biasa. Jadi jangan heran kalo banyak cewek yang mendekati berusaha mengambil hatinya. Tapi inilah yang menjadi masalah baginya.
Sekarang mau apalagi mereka bertiga, kalau nggak minta pendapat kepada orang yang lebih tahu.
Akhirnya mereka mendatangi seorang ustadz untuk konsultasi atas problemnya masing-masing. Bukan kepada dukun atau tukang sulap. Eh lupa, Bimbingan Konseling. Tahukan, kalau konsultasi ke dukun... Ih, syereem!
Kalau ke Bimbingan Konseling, paling ujung-ujungnya, ”Kamu harus masuk jurusan favorit dengan gelar mentereng, kerja di perusahaan bonafit. Bisa beli rumah pribadi, mobil pribadi, dan dapat istri pribadi cuaaan...theeek sekallleee (eh, cantiknya pribadi juga lho. Karena cantik miliknya dia sendiri dan suaminya, tidak harus dibuka dan dipamerin ke orang lain khan?)”
Kenapa memilih ustadz? Lantaran mereka sering dengar ceramah ustadz tersebut dan terkesan mandalam dengan kandungan ceramahnya. Pas lah sudah kalu ketiganya konsultasi ke ustadz.
Kata Ustadz, ”Kalian sudah saya anggap dewasa. Sudah mampu diajak berfikir lebih jauh bagaimana menuntut ilmu dan apa arti ilmu itu sendiri. Kita yang dilahirkan tidak memiliki pengetahuan sesuatu pun. Allah SWT lah yang memberikan dan mengajarkan ilmu itu kepada kita melalui pendengaran, penglihatan, dan hati. Ingat firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 78, yang berbunyi:
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.”
Untuk itu, kalau kalian menuntut ilmu berarti menuntut ilmu Allah. Jadi ilmu yang diberikan Allah kepada kalian, untuk ditujukan kepada Allah, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Karenanya nanti diminta pertanggungjawaban atas ilmu kalian.”
”Ustadz, terus bagaimana dengan ilmu yang kami tuntut selama ini. Kan tidak ada kaitanya dengan ibadah?” tanya Faiz penasaran.
”Sifat ilmu kan bermacam-macam. Ada ilmu yang harus dipelajari. Hukumnya Fardhu A’in. Setiap muslim dan muslimah harus dan wajib menuntutnya, yaitu ilmu tentang aqidah, syari’ah dan ibadah, dan ilmu-ilmu yang menjadi syarat untuk dapat mempelajari ketiga ilmu tersebut. Ingat, jika suatu kewajiban tidak sempurna karena sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib pula. Seperti Bahasa Arab, fiqh, tafsir, ilmu kalam, dll.
Selain itu, ada ilmu yang hukum menuntutnya menjadi Fadhu Kifayah. Yaitu ilmu yang diharuskan dari sekelompok masyarakat muslim untuk mengutus satu atau beberapa orang untuk menuntutnya, terutama bagi pemimpinnya. Jika sudah ada yang menuntut ilmu tersebut, tidak diharuskan bagi yang lain. Namun bila tidak ada, berdosalah seluruh kelompok masyarakat muslim tersebut. Ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah ini merupakan ilmu yang dibutuhkan masyarakat zaman sekarang ini, baik ilmu hukum dan pendalaman ilmu alam, seperti: kedokteran, matematika, kimia, teknik, ekonomi, dan lainnya.
Oleh Al-Ghazali ilmu kemasyarakatan ini dibagi menjadi dua, yaitu ilmu syari’at: ilmu yang didapatkan dari para nabi, dan ilmu non syari’at. Nah ilmu non syari’at ini dibagi menjadi ilmu Mahmud (baik), Madzmum (tercela) dan Mubah (netral/boleh).
Bukankah dengan ilmu kita beribadah dan jika tidak punya ilmunya janganlah kita lakukan perbuatan itu. Dan jangan lupa bahwa semua perbuatan kita seharusnya ditujukan untuk beribadah kepada Allah SWT. Bukankan setiap perbuatan baik yang dimulai dengan Bismillah akan dinilai ibadah oleh Allah SWT?” jawab ustadz panjang lebar.
”Terus apa hubungannya dengan ilmu yang kami dapatkan di sekolahan selama ini?” tanya Farid menimpali.
”Ilmu Mahmud in iterbagi menjadi ilmu yang hukumnya Fardhu Kifayah dan ilmu yang hanya merupakan suatu keutamaan (fadhillah). Di sinilah kedudukan ilmu yang kalian tuntut di sekolahan atau di perguruan tinggi nanti.
Belajar ilmu politik, ekonomi, hukum, kedokteran, pendidikan, pertanian itu pada ilmu Fardhu Kifayah. Kalau mempelajarinya lebih dalam lagi kalian mendapatkan keutamaan (fadhillah) dari ilmu tersebut”, jawab Ustadz.
”Kalau demikian ilmu apa yang cocok bagi kami Ustadz?” tanya Faris tidak sabaran.
”Saya kira kalian lebih tahu kemampuan diri kalian sendiri, yang cocok dimana. Saya hanya mendudukan ilmu tersebut pada tempatnya. Dengan melihat kecenderungan masing-masing dan latihan-latihan yang kalian lakukan. Kemudian mempertimbangkan kepentingan keluarga dan masyarakat kalian sehingga kalian dapat memilih juurusan yang paling baik bagi masing-masing. Dan perlu diingat karena ilmu yang kalian tuntut di perguruan tinggi nanti adalah ilmu Fadhu Kifayah, maka ilmu Fardhu ’Ain tidak boleh dilupkan”, kata ustadz tandas.
Sampai hari ketiga menjelang ujian masuk perguruan tinggi, ketiganya masih bingung menentukan jurusan. Tanya sana, tanya sisni sampai muyaaak. Eh, ternyata tidak puas juga. Keputusan mereka, mendatangi ustadz itu lagi. Lama sekali menunggu kedatangan ustadz karena bepergian ke luar kota.
Gelisah, bingung... Akhirnya sang ustadz datang juga. Kemudian langsung mengemukakan kesulitannya. Jawab ustadz singkat, ”Tolong pikirkan dengan hadits Rasulullah ini, Insya Allah kalian dapat memilihnya dengan tepat.
”Barang siapa menghendaki kebahagiaan dunia maka hendaklah dengan ilmu. Barang siapa menghendaki kebahagiaan akhirat hendaklah dengan ilmu. Dan barang siapa menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat maka hendaklah dengan ilmu”. Demikian jawaban ustadz tanpa basa-basi lagi.
Pengumuman ujian masuk perguruan tinggi telah selesai. Alhamdulillah berkat usaha keras dan do’a, mereka semua diterima di perguruan tinggi negeri (jieee....). Hari pertama masuk kuliah, Faiz, Farid dan Faris berjalan mantap siap menghadapi tantangan masa depan. Mereka tetap mempertimbangkan keinginan orang tua masing-masing. Faiz diterima di Fakultas Ekonomi, Farid di Fakultas Pertanian dan Faris di Fakultas Keguruan.
Apa jawab mereka kalau ditanya, mengapa masuk fakultas itu? Karena ketiga profesi dari fakultas itu telah diterapkan oleh sang ustadz dengan baik. Beliau seorang petani yang menjual hasil pertaniannya di pasar sendiri. Selain tetap mengajarkan ilmu-ilmu agamanya kepada masyarakat. Aneh!
Ketiganya pun bertekad tetap mempelajari ilmu Fardhu ’Ain yaitu Al-Islam lebih dalam lagi dengan memasuki kerohanian Islam di kampus, selain tetap aktif di IRMA masjid dekat rumahnya. (jsp, smd, jun95)