Spiga

Setegar Shafiyyah

“Assalamu’alaikum, kenalkan nama saya Shafy”, kata Shafy memperkenalkan diri.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah”, jawab Nisa.
“Kamu anak baru di sini ya?”, tanya Nisa kemudian.
“Iya, kenapa?” tanya Shafy balik.
“Enggak. Saya baru dengar. Namamu kok aneh. Seperti nama orang bukan Islam saja.” Jawab Nisa sambil bergumam.

“Kamu ini gimana? Nama saya Shafiyyah. Shad-fa’-ya’. Bukan es-o-pe-ha-i-e. Memang betul kalau Sophie itu nama artis dan nama bule. Bukan nama Islam. Tapi kalau Shafiyyah, itu nama Islam. Shafy itu panggilanku saja, artinya bersih dalam bahasa Arab. Kamu belum tahu ya, Shafiyyah itu siapa?” terang Shafy sambil menanyakan.
“Belum”, jawab Nisa polos.
“Mau tahu ceritanya?” tanya Shafy.
“Mau…, mau….” Jawab Nisa.
“Sini saya ceritakan tentang Shafiyyah”, ajak Shafy ke arah bangku di pojok ruangan.

“Malam semakin larut. Udara dingin makin menusuk di dalam bilik rumah di kota Madinah tampak seorang wanita setengah baya dengan garis wajah tegas namun menyiratkan kedamaian, sedang asyik melantunkan dzikir kepada kekasihnya, Allah Rabbul Jalil.

Wanita itu, selesai sudah dengan dzikirnya, masih tetap dalam keremangan malam di kamarnya. Terbayang di pelupuk matanya, saudaranya Hamzah. Hamzah seolah-olah tersenyum padanya dalam ketenangan di sisi Allah sebagai syahid. Ya… saudaranya itu, Hamzah yang sering digelari dengan Singa Allah, telah syahid di perang Uhud. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan melawan kaum musyrikin.

Kenangan pahit itu terbayang lagi… Terbayang di matanya, bagaimana seorang budak bernama Wahsyi milik seorang musyrik, Hindun binti ‘Uthbah, istri Abu Sufyan dan ibu Mu’awiyah, berhasil melemparkan lembing tepat mengenai saudaranya, Hamzah. Sehingga Singa Allah itu roboh.

Terbayang pula di matanya, bagaimana Hindun dengan suka cita menerima kabar itu. Lalu berlari cepat bersama Wahsyi menuju tempat jasad Hamzah. Dengan bengisnya wanita itu membelah dada Singa Allah tersebut dan kemudian…. Memakan hatinya!

Teriris …. hatinya kembali teriris. Namun dengan sabar dan tabah ia berkata: “Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat dan kemampuan padamu, wahai saudaraku. Kita adalah kaum yang biasa menyaksikan kematian dengan kesyahidan. Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan dan tidak ada kekuatan untuk menjalankan kebaikan kecuali dengan pertolongan Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun. Allahlah yang mencukupi kami, dan Dialah sebaik-baik yang mengurusi. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosamu dan dosaku dan memberi balasan kepadamu sebagai layaknya membalas hamba-hamba-Nya yang shaleh dan ikhlas.”
Wanita itu menarik nafas, seolah-olah ingin melegakan rongga dadanya yang terasa begitu sempit. Dengan tabah dan ikhlas diterima syahid saudaranya dengan senyuman.” Terang Shafy.

“Ih… sadis betul ya, Hindun itu. Dan betapa pedihnya Shafiyyah sebagai adik.” Kata Nisa menyela.
“Itulah salah satu latar belakangnya sehingga Shafiyyah menjadi tegar menghadapi Yahudi, meski dalam peperangan.” Jawab Shafy.
“Shafiyyah ikut perang?” tanya Nisa penasaran.
“Iya, Shafiyyah ikut perang, membunuh Yahudi lagi.” Jawab Shafy.
“Ceritakan lagi dong…” tukas Nisa lagi.

“Malam kelam masih menyelimuti kota Madinah. Sunyi, sepi dan mencekam… Saat itu adalah saat perang Khandak. Di luar, Madinah dikepung puluhan ribu pasukan musyrikin Quraisy. Pasukan Rasulullah yang sedikit, terkonsentrasi menghadapi kepungan musuh ini. Dari dalam, kaum Yahudi Bani Quraidhah melanggar perjanjian. Sehingga memperlancar kaum musyrikin yang akan memerangi Rasulullah.

Di dalam sebuah benteng di dalam kota Madinah, Shafiyyah bersama wanita lainnya dan anak-anak berada di dalamnya. Secara tak sengaja matanya melihat seorang Yahudi mengendap-endap mengelilingi benteng. Mata wanita itu berubah menjadi waspada. Diperhatikannya gerak-gerik orang Yahudi itu. Berjalan perlahan-lahan mengelilingi benteng melewati parit, yang dibuat sebagai pertahanan atas usulan Salman Al-Farisi, tanpa mengetahui ada sepasang mata wanita pemberani tengah memperhatikannya.

Wanita itu bergegas mendatangi Hassan bin Tsabit, penyair Rasulullah yang berada di dekat benteng itu dan berkata:
“Wahai Hassan, seperti yang engkau lihat, orang Yahudi itu mengitari benteng kita. Demi Allah, aku merasa tidak aman jika dia menunjukkan titik lemah kita dari arah belakang ini. Sementara Rasulullah dan para sahabat tidak sempat mengurusi kita. Maka hampirilah dia dan bunuhlah.”
“Semoga Allah mengampuniku wahai putri Abdul Muthalib! Demi Allah, engkau sejak dahulu telah tahu aku bukanlah orang yang mahir dalam hal ini, “ jawab Hassan.

Naluri wanita ini bergerak cepat, keluarga Rasulullah dan wanita serta anak-anak kaum muslimin dalam bahaya, bagaimana ia akan berdiam diri? Wanita itu lantas mengikat pinggangnya, kemudian mengambil sepotong tongkat tiang penyangga. Lalu ia keluar dari benteng dan dengan cepat memukulkannya pada Yahudi itu. Yahudi tersebut kaget dan tak menyadari akan adanya serangan mendadak ini. Wajahnya pucat, matanya terbelalak dan ….. buk! Tepat mengenai ubun-ubunya. Robohlah si Yahudi itu yang memang mata-mata yang ditugaskan untuk melihat kelemahan benteng kaum muslimin.

Lalu berkata, “Wahai Hassan, turunlah dari benteng dan ikatlah ia. Kalau bukan karena dia seorang laki-laki, tentu sudah kuikat sendiri”.
Hassan bin Tsabit berkata, “Kurasa aku tak perlu lagi mengikatnya.” Karena memang si mata-mata itu sudah mati.

Tindakan berani wanita itu mempunyai pengaruh yang amat mendalam bagi Rasulullah dan kaum muslimin. Sebab selama itu orang Yahudi menduga benteng bagi wanita dan anak-anak kaum muslimin dijaga ketat. Padahal nyatanya tidak. Karena dugaan itu mereka tidak berani menyerang benteng. Bahkan tidak berani menyerang secara terang-terangan kepada kaum muslimin. Mereka hanya mengulurkan bantuan bahan makanan kepada pasukan kafirin. Tapi bahan makanan itu juga bisa diambil oleh pasukan Muslimin sebanyak dua puluh onta. Allahu Akbar!!!” kata Shafy mengakhiri ceritanya.

“Subhanallah, siapakah wanita pemberani ini? Yang hidupnya dihiasi dengan kesabaran, keikhlasan dan ridha menerima qadha dari Allah, juga seorang yang tajam nalurinya, cepat geraknya dan tegas pribadinya tersebut?” tanya Nisa.

“Ya, iya tak lain adalah Shafiyyah binti Abdul Muthalib, saudara perempuan Hamzah, Singa Allah, Bibi dari Nabi Muhammad Rasulullah SAW tercinta.” Tukas Shafy.

“Wahai.. sungguh pada diri Shafiyyah itu ada pelajaran berharga bagi kita semua.” Gumam Nisa kemudian. Barakallah Shafy.

(Thanks to: Mashitah, Fitrah, 3/II/1417)

9 comments:

PiPiTa

June 7, 2008 at 1:16 AM

Wuah, cerita yang mengharu biru dan inspiratif sekali.. Perempuan yang gagah berani seperti Shafiyyah masih ada gak ya?

ratu_ida84

June 9, 2008 at 1:00 AM

hem... baguss banget ceritanyaa,,...

Republik Gaptek

June 9, 2008 at 5:33 AM

Subhallah ceritanya..mantap!!

Presyl

June 9, 2008 at 8:22 PM

bagus ceritanya.,
namanya juga bagus,, shafiyyah..

M Q

June 10, 2008 at 1:32 AM

kayak nama temen gue aje

treen

June 10, 2008 at 9:35 PM

ada yang usul nama untuk dijadikan cerita?

Unknown

June 11, 2008 at 7:30 PM

ah tidak postingan panjang!! ah tidak merusak mata!! tidak! TIDAK!!

Damar

June 12, 2008 at 2:56 AM

assalamualaikum..makasih kunjungannya...

Blog Kang Robby

June 14, 2008 at 2:37 AM

cerita yg bagus dan mnginspirasi untuk berbuat baik....