Spiga

RAPAT, RAPAT, RAPAT LAGI…!

Ketika Mat Jundi sedang duduk santai di teras, melintaslah seorang teman di depannya. Segera Mat Jundi menyapa, “Assalamu’alaikum, ya akhi”.
Spontan sang teman menjawab, “Wa’alaikumussalam warahmatullah”.
“Dari mana dan mau kemana, nih. Kayaknya tergesa-gesa?,” tanya Mat Jundi.
“Barusan ikut rapat, dan ini mau menghadiri rapat lagi,” jawabnya sedikit menggerutu.
Mendengar jawaban itu, lantas Mat Jundi teringat sebuah iklan di televisi, “Rapat, rapat, rapat terus setiap hari!”.
Tiba-tiba Mat Jundi terdiam, merenung dan berpikir, “Mengapa orang mesti rapat, ya? Apa memang banyak masalah yang harus dipecahkan dengan rapat atau hanya ketagihan rapat?” tanyanya dalam hati.
Tak lama setelah itu, Mat Jundi membuka lembaran-lembaran suci. Tanpa sengaja, terbacalah sebuah seruan Ilahi, “Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabbnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka,” (QS. 42:38)
Agak terjawablah sudah uneg-uneg Mat Jundi bahwa musyawarah adalah arena untuk mengambil keputusan bersama yang diperintahkan oleh Sang Pencipta. Mengingat setiap orang sangat mungkin mempunyai pandangan masing-masing tentang sesuatu hal yang sama, maka sebuah kelompok, organisasi atau golongan perlu bermusyawarah. Hasil musyawarah itulah kemudian disepakati sebagai keputusan kelompok, meskipun mungkin ada pribadi yang tidak setuju dengan keputusan itu.
Dan betapa tersentaknya Mat Jundi ketika membaca sejarah Nabi Muhammad SAW, ternyata musyawarah telah ditanamkan Rasulullah itu kepada para sahabat dan pengikutnya dalam mengambil keputusan yang manusiawi.
Alkisah, waktu itu menjelang perang Uhud, bersama para sahabatnya Rasulullah berembuk mengenai strategi menghadapi kemungkinan serangan kaum kafir. Ada dua pendapat yang berkembang. Pertama, bertahan di dalam kota Madinah dengan alasan jika kaum musyrikin itu menyerang, maka tinggal menghadang dan membunuhnya di jalan-jalan. Sementara kaum wanita dapat membantu melempar batu dari atap rumah. Kedua, keluar dari Madinah dan menghadang kaum musyrikin di perbatasan kota.
Nabi sendiri secara pribadi setuju dengan pendapat pertama. Namun sebagian besar sahabat, yang mayoritas pemuda yang tidak ikut perang Badar, menginginkan cara kedua. Nyata banyak pendapat terakhir inilah yang paling banyak diantara jamaah yang disepakati. Sedang sebagian sahabat yang tua yang ikut perang Badar masih ragu-ragu.
Seusai musyawarah Rasulullah langsung bangkit dan masuk ke rumahnya, lalu keluar lagi dengan pakaian perang. Melihat sikap Rasulullah, sebagian sahabat mulai berubah pikiran. Mereka bertanya, “Apakah Rasulullah tidak menyukai penghadangan musuh di luar kota?” Sebagian sahabat yang lain berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya engkau menghendaki tinggal di Madinah, maka lakukanlah.”
Nabi SAW kemudian menjawab, “Tak patut bagi seorang Nabi bila telah mengenakan pakaian perangnya untuk melepaskannya kembali sampai Allah menetapkan keputusan antara dia dan musuhnya.”
Setelah membaca kisah di atas, berkomentarlah Mat Jundi dalam kesendiriannya, “Masya Allah! Dengan ucapan itu Rasulullah menanamkan sendi musyawarah dan bagaimana cara menghargai hasil musyawarah. Bila telah sampai pada suatu keputusan, maka teguhkanlah pendirian dan laksanakan keputusan itu. Tidak ada lagi tempat untuk keragu-raguan, atau mengulangi musyawarah tersebut dan berbantah-bantahan. Biarkanlah Allah berbuat sekehendakNya setelah keputusan itu disepakati.
Rasulullah sebetulnya telah mengetahui bahwa strategi mencegat musuh di batas kota akan membawa kekalahan bagi umat Islam. Ini tersirat dari mimpinya beberapa saat sebelum perang Uhud. Namun, karena ingin mengajarkan sendi-sendi musyawarah dan mendidik umatnya, Nabi rela membayarnya dengan kekalahan yang semestinya tidak perlu terjadi. Ini menunjukkan betapa pentingnya arti musyawarah.
Tak terasa dalam ketertegunannya, Mat Jundi mengambil hikmah dari sebuah kisah Rasulullah.Meneteslah butiran-butiran airmata membasahi lembaran-lembaran putih di hadapannya, sambil berbisik, “Ya Allah, betapa agung budi Rasulullah. Sampaikah hambamu yang lemah ini mendekat kepada pribadi Rasulullah?”
“Ya Allah Yang Maha Pengampun. Sesungguhnya hambamu ini banyak berbuat aniaya, sering tidak menghormati dan mentaati hasil musyawarah. Bibir berucap ya… tapi tidak pernah melaksanakannya. Oleh karena itu, ampunilah kelalaian hamba dan ketidak konsistenan hamba terhadap hasil musyawarah.” Amiin.

1 comments:

Bambang Aroengbinang

May 29, 2008 at 4:11 AM

Meskipun musyawarah tidak sama dengan pemungutan suara, namun di dalam musyawarah pun sering terjadi pemungutan suara yang tidak resmi untuk memilih secara mufakat satu pilihan diantara pendapat yang berbeda-beda.

Yang sulit adalah menerima dengan hati dingin ketika pendapat yang diyakini benar tidaklah bisa diterima, selanjutnya adalah kelapangan dada untuk menerima dengan ikhlas hasil apa pun yang diperoleh ketika keputusan itu dieksekusi, tanpa mengungkit-ungkit proses musyawarah.

pada akhirnya semuanya kembali kepada manusianya.
aroengbinang