Spiga

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah: Tabi’it Tabi’in Terakhir

“Kak Ihsan mau ke mana? Pagi-pagi kok tidak siap-siap ke sekolah seperti biasanya”, tanya Iman kepada kakaknya.
“Hari ini ada kunjungan ke Pesantren Ibnul Qayyim di kilo”, jawab Ihsan.
“Wah, saya minta oleh-olehnya ya Kak?”, rengek Iman.
“Ya, nanti saya ceritakan apa yang saya peroleh dari sana”, jawab Ihsan.
“Ya iyalah, Kak… Masa saya minta oleh-oleh pizza dari sana?”, kata Iman sambil bercanda.

Malamnya Ihsan menepati janjinya kepada Iman. Ia menceritakan oleh-oleh berkunjung ke Pesantren Ibnul Qayyim. Ketika asyik bercerita, Iman menyela lagi, “Siapa sih kak Ibnu Qayyim itu?”
“Pertanyaan ini jadi cerita besok aja ya, Man?”, Ihsan menggoda.
“Tidak Kak. Harus hari ini”, tampik Iman.
“Ya, sudah. Kalau ada kekurangan ceritanya dilanjutkan aja lain waktu”, kata Ihsan.
“Tidak apa-apa Kak”, jawab Iman.

“Dimulai ya… Ibnul Qayyim Al Jauziyah, begitulah beliau sering dipanggil. Nama aslinya adalah Muhammad bin Abi Bakr bin Sa’ad bin Qariz Az Zur’i Ad Dimisyqi. Beliau diberi julukan Syamsuddin yang artinya matahari agama. Nama kunyah (alias) beliau Abu Abdillah. Dikenal dengan nama Ibnul Qoyyim Al Jauziyah. Nama Al Jauziyyah adalah nama madrasah (sekolahan) dimana dahulu ayahnya menjadi Qoyyim (kepala) di madrasah itu”, kata Ihsan memulai cerita.

“Ibnul Qayyim diakui para ulama sebagai tabi’it tabi’in yang terakhir berdasarkan keilmuan dan jihad beliau. Karena dianggap, setelah itu sampai sekarang tidak ada ahli ilmu yang sekaligus bisa mempraktekkan dalam kehidupan amal dan jihadnya seperti beliau dan para pendahulu Islam ini”, terang Ihsan.
“Kak, tabi’it tabi’in itu apa sih?”, Tanya Iman lagi.
“Kamu tahu sahabat Rasul kan?”, Ihsan membalik pertanyaan ke Iman.
“Tahu, Sahabat Rasul adalah orang yang sering bertemu dengan Rasulullah SAW juga menuntut ilmu dari Rasul dan mengamalkan ilmunya”, jawab Iman cepat.
“Nah, tabi’in ini adalah orang-orang yang tidak lagi bertemu Rasulullah SAW, tapi sering bertemu dengan sahabat Rasululullah SAW. Sedangkan tabi’it tabi’in adalah orang yang sering bertemu dengan tabi’in tadi untuk menuntut ilmu dan mengamalkannya. Gitu”, jawab Ihsan.

“Jadi Ibnul Qayyim ini adalah orang yang ‘I’tiba’ (mengikuti) ajaran Rasulullah SAW secara utuh setelah sahabat dan tabi’in walaupun tidak bertemu langsung dengan Rasulullah. Gitu ya Kak?”, kata Iman ingin menegaskan.
“Iya. Ibnul Qayyim itu paling tidak sudah tiga tingkatan setelah Rasulullah”, kata Ihsan lagi.

“Ibnul Qayyim lahir tanggl 7 Shaffar 691 H atau 4 Februari 1292 M di kampung Zara' dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Damsyq (Damaskus), Suriah”, kata Ihsan.
“Selanjutnya, Ibnul Qayyim adalah seorang imam, hafidz, pentahqiq, ahli ushul, ahli agama, ahli bahasa, pemilik pena yang tajam, dan penulis banyak karya yang berkualitas. Kitab-kitabnya masih bisa kita baca dan menjadi rujukan dan semua bidang ilmu. Kitab-kitab yang sering dibaca sampai sekarang diantaranya: Mada Rijus Salikin, Al Fawa'id, Kitabur Roh, Zaadul Ma'ad, dan masih banyak lagi. Paling tidak kamu pernah dengarkan nama-nama kitab itu”, tanya Ihsan kepada Iman.
“Pernah, Kak. Kitabur Ruh. Kitab itu pernah dibawa oleh guru ngaji saya di mushalla waktu cerita tentang ruh”, jawab Iman.
”Dari ayahnya, Ibnu Qayyim belajar ilmu faraidl karena sang ayah memang sangat menonjol dalam ilmu itu. Diantara guru-guru Ibn Qayyim adalah Ibn Abd al Daim, Isa al Mutha`im, al Qadhi Taqy al Din ibn Sulaiman, Ibn Al Syaraazy, al Syahab al Naabalasy al `Abir, Isma`il ibn Maktum, Fatimah binti Jauhar dan masih banyak lagi yang lainnya.
Selain itu, dia belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab Al-Mulakhkhas li Abil Balqa', kitab Al-Jurjaniyah, juga sebagian besar kitab Al-kafiyah was Syafiyah. Kepada Syaikh Majduddin at-Tunisi dia belajar satu bagian dari kitab Al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Berguru ilmu ushul fikih kepada al Shafy al Hindy. Mendalami ilmu fiqih kepada al Majd al Haraany al Taqy al Din ibn Taimiyyah yang banyak membentuk sistem berfikirnya. Ibnul Qayyim juga banyak sekali menyerap ilmu dari gurunya yang disebut terakhir, bahkan selalu menyertai gurunya tersebut sampai dia menutup mata untuk yang terakhir kalinya.
Al Hafidz Ibn Hajar Al Asqalany berkata, Andaikata Syaikh Ibnu Taimiyyah tidak memiliki riwayat hidup lain kecuali hanya muridnya yang satu ini yaitu Ibnul Qayyim, pasti hal ini sudah cukup untuk menunjukkan keagungan dan kedudukannya.
Berkat pendidikan intensif yang diberikan orangtuanya, Ibnul Qayyim pun tumbuh menjadi seorang yang dalam dan luas pengetahuan serta wawasannya. Terlebih ketika itu, bidang keilmuan sedang mengalami masa jaya dan para ulama pun masih hidup”, papar Ihsan panjang lebar.
“Jadi, Ibnul Qayyim itu murid yang rajin menuntut ilmu dong, Kak?”, tanya Iman lagi.
“Ya, tidak hanya menuntut ilmu, tapi juga mengamalkannya dalam jihad”, jawab Ihsan.
“Apa buktinya, Kak?”, tanya Iman lagi.
“Beliau hidup di masa bergelombangnya fitnah-fitnah dan tersebarnya ujian-ujian terhadap Islam. Mulai fitnah Tatar sampai fitnah Syiah, juga fitnah tersebarnya mazhab Asy'ariyah yang menyimpang dan lain-lainnya. Beliau turun di setiap medan bagai tentara berkuda yang besar dengan membawa pedang, pena, dan mata lembing. Beliau menulis, berjihad, dan membela.
Beliau berguru dan menemani Ibnu Taimiyyah sepanjang hidupnya, menjadi muridnya, beliau pikul beban jihad bersama guru beliau, menolong madzhabnya, dan beliau bawa bendera jihad sesudah kematian guru beliau Ibnu Taimiyyah pada tahun 728 H.
Beliau berdua seakan tak terpisahkan. Keduanya pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Beliau pernah diikat di sebuah batang pohon kurma setelah merasakan siksaan dan diseret dengan unta sambil dicambuk dengan cemeti besi. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Disela-sela penahanan atas diri beliau, beliau lebih sering untuk membaca al Qur`an, bertadabbur dan berfikir yang menyebabkan Allah membukakan banyak kebaikan dan ilmu yang luas bagi beliau.”, jelas Ihsan.
“Hebat sekali ya Kak, cobaan yang beliau hadapi. Tapi apa yang Kakak tahu tentang keilmuan beliau yang lain selain ilmu agama?”, tanya Iman menyelidik.
“Kalau beliau itu sebagai ahli agama dan penulis buku, kamu sudah tahu. Beliau juga mengajar di Madrasah Shadriyyah sekaligus sebagai pimpinan Madrasah al Jauziyah dalam kurun waktu yang lama, dimana tempat ayah beliau menjadi pimpinan dahulu. Kamu juga tahu kalau Ibnul Qayyim juga ahli perang di medan jihad.
Pada salah satu bukunya, detail tentang peperangan itu menjelaskan tentang pedang, baik ukurannya, bentuknya, cara pegangnya, cara merawatnya, bahkan sampai menyarungkannya pun beliau tulis. Begitu juga untuk unta dan keledai. Beliau tulis detail sekali.
Sampai-sampai penerjemah buku tentang perang itu mengatakan begitu luas ilmu yang diamalkan beliau, sampai hal-hal sekecil itu beliau tulis. Berarti beliau bukan hanya penulis buku. Tapi tahu persis situasi dan detail apa yang diperlukan dalam peperangan dan strateginya”, papar Ihsan bersemangat.
“Masih ada lagi, beliau juga ahli pengobatan”, pancing Ihsan.“Wah, masa iya Kak?”, tanya Iman semakin penasaran.
“Coba cari bukunya yang berjudul Ath Thibbun Nabi tentang metode pengobatan Nabi. Nah, berarti beliau kan juga ahli pengobatan. Dan masih banyak lagi keahlian beliau. Bahkan tentang nyanyian dan ramalan bintang”, lanjut Ihsan.
“Ada lagi Kak?”, rajuk Iman penasaran.“Sudah ya Man. Ditutup aja dulu. Gini… cerita akhirnya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, wafat pada malam Kamis, tanggal 13 Rajab tahun 751 Hijriyah. Setelah dishalatkan keesokan harinya usai shalat Dzuhur di Masjid Jami Besar Dimasyq (Al-Jami Al-Umawi), ulama ini dikuburkan di tanah pekuburan Al-Babus Shaghir diantara pekuburan keluarganya. Begitu kisah hidup beliau ini”, lanjut Ihsan.
“Sudah Man. Sudah malam. Siap-siap tidur’, kata Ihsan mengakhiri.“Iya Kak. Terima kasih”, jawab Iman.

0 comments: